Siapa yang belum pernah dengar soal pempek? Makanan tradisional berbahan dasar ikan ini begitu fenomenal. Sebagian orang akan langsung mengasosiasikannya dengan Kota Palembang, kota asal pempek ketika mendengar namanya. Sebuah anekdot bahkan menggambarkan secara gamblang bentuk kedekatan pempek dengan keseharian orang Palembang : orang Palembang belum sarapan jika belum menghirup cuko—kuah pedas-manis pelengkap hidangan pempek. Selain karena rasanya yang enak dan jenisnya yang beragam, harganya pun mampu dijangkau semua kalangan.
Namun sebelum pempek sebeken saat ini, apa saja sebenarnya yang kita ketahui tentang pempek? Ternyata pempek sudah menemani keseharian masyarakat Palembang sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam. Terdapat sejarah yang panjang sebelum pempek seeksis sekarang. Kini, saya akan mencoba memaparkan beberapa fakta soal pempek.
Asal Nama
Pempek atau empek-empek? Mana penyebutan yang benar? Jika anda bermukim di luar Sumatera, mungkin anda akan bingung memilih. Namun bagi orang yang lahir dan tumbuh besar di Palembang, nama ‘pempek’-lah seolah sudah tertanam di alam bawah sadar.
Pun demikian, terlepas dari nama manapun yang akrab di telinga anda, kedua nama tersebut bermuasal pada satu cerita. Konon saat pertama kali dipasarkan, hidangan pempek dijajakan oleh pedagang Tionghoa yang bermukim di pesisir Sungai Musi. Para pembeli pempek pada masa itu biasa memanggil si penjaja pempek dengan ‘Apek’, panggilan yang lazim untuk seorang paman atau tuan keturunan Tionghoa. Kebiasaan memanggil tersebut lalu berulang dan diikuti semua orang, sehingga jajanan apek tersebut akhirnya diidentikan dengan nama panggilan apek itu sendiri. Dari sanalah lahirnya nama pempek.
Namun tahukah anda? Sebelum dikenal dengan sebutan pempek atau empek-empek, penganan dari ikan tersebut ternyata sudah memiliki nama lain, yaitu kelesan. Kelesan diambil dari kata ‘keles’ yang pada masa itu berarti ‘awet/ tahan lama’. Hal tersebut beranjak dari sifat makanan pempek yang bisa bertahan cukup lama di suhu ruangan, meskipun diolah dari daging ikan yang biasanya cepat membusuk di udara terbuka. Namun dalam proses sejarahnya, nama ‘pempek’ lebih melekat di lidah masyarakat Palembang ketimbang kelesan.
Awal Mula Komersialisasi Pempek
Kelesan sudah ada sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam, tepatnya pada abad ke-16. Inisiatif untuk membuat kelesan bangkit karena hasil tangkapan ikan sungai pada masa itu jauh melampaui jumlah konsumsi ikan masyarakat Palembang, sehingga banyak ikan yang tidak habis dimakan menjadi busuk dan tidak bisa dikonsumsi lagi. Setelah diolah menjadi kelesan, daging ikan tentu menjadi lebih awet. Keterbatasan teknik pengawetan makanan pada masa itu mengharuskan semua orang untuk mengolah daging ikan yang tidak dimakan menjadi kelesan, sehingga kelesan pun secara tak langsung menjadi hidangan khas kesultanan yang disimpan secara khusus di dapur tiap rumah limas.
Kelesan baru mulai dikomersialisasi sejak Belanda menginvasi Palembang. Untuk menjajakan kelesan, masyarakat Palembang menitipkan kelesan kepada pedagang Tionghoa, karena orang Tionghoa dinilai mahir dalam berdagang. Tepatnya sejak tahun 1916, pempek mulai dijajakan dengan berjalan kaki oleh pedagang Tionghoa. Sejak saat itulah nama pempek mulai menjadi lebih populer dari kelesan.
Macam-macam Pempek
Pempek pada awalnya dibuat dari daging ikan belida yang dicampur tepung kanji—sebutan masyarakat Palembang untuk tapioka. Namun seiring dengan zaman, daging ikan belida makin sulit diperoleh, sehingga para pembuat pempek beralih menggunakan daging ikan lain seperti tenggiri, kakap dan toman. Bahkan di wilayah lain di Sumsel seperti Muara Sungsang, pempek dibuat dari daging udang. Beberapa pedagang pempek kini juga menjual pempek yang tidak menggunakan daging ikan yang disebut pempek dos. Namun terlepas dari bahan apa pun yang digunakan, pempek selalu disajikan berdampingan dengan cuko, larutan pedas-manis yang menjadi pelengkap citarasa pempek.
Pempek memiliki varian yang sangat banyak, mulai dari pempek lenjer, pempek ada’an, pempek telur, pempek pistel, pempek keriting, pempek tahu, pempek belah hingga pempek kulit. Masing-masing pempek dibuat dengan bentuk dan bahan tambahan yang berbeda yang menjadi ciri khas masing-masing jenis. Pempek kulit, misalnya, dibuat dengan hanya memanfaatkan bagian kulit ikan (biasanya tenggiri), sehingga warnanya cenderung abu-abu atau cokelat gelap. Pempek dapat disajikan dengan direbus atau digoreng sesuai dengan selera. Selain pempek yang direbus atau digoreng, dikenal pula varian pempek lain yang disajikan dengan kuah, seperti laksan, celimpungan, tekwan dan model.
Pempek di Masa Kini
Seiring dengan kemajuan zaman, pempek pun mengalami berbagai evolusi. Jika dulu pempek hanya dijajakan oleh penjual yang berjalan kaki, kini pempek telah tersedia di berbagai restoran dan kedai mewah yang khusus menjual pempek. Jenis pempek pun makin beragam. Produsen pempek di Palembang terus berinovasi dengan mengembangkan produk nenek moyang mereka. Sebut saja pempek krispi, pempek gunting, pempek keju dan pempek baso sapi. Selain memproduksi pempek untuk konsumsi masyarakat lokal, beberapa produsen pempek modern juga melayani langsung jasa pengiriman pempek hingga ke luar kota sebagai oleh-oleh. Hal tersebut turut mendorong perkembangan inovasi pada aspek teknologi, seperti teknologi pengawetan pempek dan packaging.
Sama seperti kain batik yang bisa dikenakan oleh siapapun tanpa memandang derajat sosial, pempek adalah kearifan lokal Indonesia yang bisa dinikmati bukan hanya oleh golongan kaya, namun juga rakyat jelata. Bedanya, jika kearifan lokal lain perlu dilestarikan agar tidak punah, maka tidak demikian dengan pempek. Makan pempek sendiri adalah sebuah aktifitas wajib yang tidak terlepaskan dari keseharian warga Palembang, sehingga bahkan tanpa dilestarikan dengan sengaja pun, pempek akan tetap hadir di tengah masyarakat Palembang, baik melalui apek yang berjalan kaki, yang bersepeda, ataupun yang menjual pempek di kios-kios besar. Becuko dan becuko, tengah duo!