Ada dipan untuk merebahkan punggung, tetapi ada yang memilih tak berjarak dengan ubin selain dipisahkan kepalan kapuk yang makin lama kian padat.
Ada yang saban hari berkejaran menuju mercu mengintip ufuk-mencoba mencari kaki langit, tetapi ada yang tetap menengadah dari tempatnya berpijak. Tidak mampu melihat ufuk bukan berarti tidak mampu melihat tubuh langit yang lain, bisiknya.
Ada yang memilih mengitari, padahal ia tahu jalan lurus tercepat untuk sampai ke bilik yang ia sebut rumah itu.
Pilihan umpama kota-kota yang luput dari skala peta. Saru. Yang akhirnya menuntun kepada gamang,
Teruntuk sepasang telapak kaki di tengah simpang lima, simpang empat, simpang berapapun itu :
Tapakilah,
Tapaki saja…