Percakapan di Kedai Kopi

Rak buku di tepi ruangan, temaram lampu, dan kain-kain yang tergantung di dinding kedai kopi ini selalu membuatku merasa berada di rumah. Kedai kopi ramai.

Sunny H

Rak buku di tepi ruangan, temaram lampu, dan kain-kain yang tergantung di dinding kedai kopi ini selalu membuatku merasa berada di rumah. Kedai kopi ramai. Hujan deras di luar. Sedari tadi, beberapa pengunjung datang dan pergi. Silih berganti. Aku mendongak dari hadapan layar ketika kursi dihadapanku berdecit. Mata tajam itu menghujamiku. Ia menggosokkan telapak tangannya. Meniup beberapa kali. Bajunya hampir kuyup kalah perang dengan pasukan hujan.

“Kursi ini kosong kan?” Ia nyengir. Gigi putihnya berbaris rapi.

Aku mengedarkan pandang. Hanya kursi di hadapanku yang kosong. Aku mengangguk. Ia duduk setelah kugeserkan beberapa buku-buku di meja.

“Lagi skripsian ya, Mbak?” tanyanya lagi. Aku meneguk coffeelate di hadapanku bersamaan ketika kopi pekat yang penuh uap hinggap di meja.

“Suka latte?” mata lelaki itu melirik ke gelas coffelate-ku yang tinggal seperapat gelas.

“Banget,” Aku menggangguk.

“Pantes. Fans latte itu people pleasers. Seneng ketemu orang baru dan terbuka sama hal-hal baru. Bener gak?”

“Sok tau!” Aku meyeruput coffeelatte-ku lagi.

“Pencinta coffelatte adalah penikmat hidup,”

Aku menoleh kearah lelaki itu. Mataku menyipit. Sebuah senyum mengembang pas di wajah tirusnya. Sedetik kemudian ia kembali melempar pandang ke barisan hujan yang turun.

“Seperti coffeelate, susu yang membuat pahitnya kopi lebih berasa manis. Begitupun hidup, bukan? Terkadang hidup dengan masalah yang datang silih berganti membuat hidup jadi pahit dan sulit di jalani. Tapi justru itulah yang membuat hidup itu manis.” Lelaki itu tersenyum. memamerkan kembali barisan gigi putihnya.

“Filosofis sekali,” aku terkekeh. Ia kembali tersenyum.

“Obi,” lelaki itu mengulurkan tangan kekarnya.

Badanku tiba-tiba kaku. Ragu kubalas uluran tangan lelaki itu.

“Soraya. Uhm, kau bisa memanggilku Raya.” Akhirnya aku menyentuh tangan kekar lelaki itu.

“Kau tahu banyak tentang kopi ya?” tanyaku akhirnya. Ia meneguk kopi pekatnya.

“Tak banyak. Aku hanya suka baca. Ah ya! Sesekali suka berjalan.”

Kami mengobrol banyak. Ia mengenalkanku kopi pekat yang dipesannya. Arabika Semendo. Kopi asli sumatera selatan yang katanya, sembilan puluh lima persen lahannya masih lahan rakyat. Sembilan pulih lima persen! Kopi asli yang penanam pertamanya masih hidup, Pak Malay, yang berusia tujuh puluh tiga tahun, katanya lagi. Ia bercerita mulai penanaman, pengolahan dasar; mulai memetik biji kopi hingga proses rosting.

“Kau harus mencobanya!” katanya berseru. Dipesankannya aku secangkir Arabika Semendo.

Tak lama, uap kopi mengepul di hadapan. Tanganku memainkan alas gelas sembari memutar-mutarkan jari. Belum pernah aku mencoba kopi selain coffeelate. Hanya coffeelate yang sanggup aku tandaskan. Kopi hitam? Aduhai, menyentuhnyapun aku enggan. Aku menyipitkan mata.

“Rasanya tak seseram yang kau bayangkan,” katanya seolah membaca pikiranku.

“Eits, minum kopi ada caranya loh.” Katanya ketika aku menarik alas kopi yang penuh uap itu.

Aku memicingkan mata ketika ia memeragakan ‘tata cara minum kopi’nya.

“Pertama, cium aromanya.” Ujarnya sembari mengangkat gelas kopinya yang tak sampai tiga perempat gelas. Entah bodoh atau apa, aku malah mengikuti instruksinya.

“Kenapa harus nyium aromanya?” tanyaku heran.

“Buat menilai aromanya. Kalo aromanya tajam, maka bisa disimpulkan kopi ini pas!” kembali ia terkekeh dengan barisan gigi putihnya.

“Lepas tu, Cicip atau seruput kopinya. Rasakan kopinya bercampur dengan liur.” Ia menirukan suara Upin ketika kami hampir bersamaan menyeruput kopi Arabika Semendo itu. Aku semakin menyipitkan mata.

“Telen deh.” Ia terkekeh ketika melihat mataku tertelan kelopak mata.

“Bagaimana rasanya?” tanyanya gesa. Aku berhasil meneguk kopi arabika pertamaku.

“Asam. Masih enak coffeelate yang sering kuminum,” Ada raut kecewa di wajahnya ketika kulontarkan kalimat itu.

“Tak ada kopi yang istimewa. Setiap kopi membawa jati diri dan penikmatnya masing-masing,” Ia mulai berfilosofis lagi.

“Karakter Arabika emang gitu. Rasa asamnya karena kafeinnya rendah. Kalo pahit mah kopi Robusta punya,” Ia kembali meneguk kopi pekatnya.

“Tau nggak? Kopi itu tanaman bawah loh. Maknanya…” Ia sengaja menggantungkan kalimatnya ketika aku memajukan tubuhku.

“Penasaran ya?” Godanya. Aku melipat bibir. Memasang jurus andalan manyun lima senti.

“Kopi sebagai tanaman bawah karena ia butuh naungan. Kopi tidak bisa tumbuh sendiri. Bisa sih kalo tumbuh sendiri, tapi nggak bagus. Misalnya daunnya bisa gosong gitu.” jelasnya panjang lebar kali tinggi.

“Kalo daunnya gosong kenapa?” tanyaku binggung.

“Mengurangi nikmat aromanya. Nah, kopi itu sama seperti wanita. Butuh naungan.” Nada bicaranya berpuintis. Aku menjulurkan lidah. Ia tertawa lepas.

“Ini kopi darimana tadi?” tanyaku lagi.

“Semendo. Daerah Muara Enim. Desa Cahaya Alam,” Jelasnya.

“Kau pernah kesana?” tanyaku lagi. Ia mengangguk.

“Ada beberapa kelompok tani yang masih berjuang menjaga kopi Arabika Semendo ini di sana,” Ia menyeruput kopinya lagi. Suaranya liurnya sedikit mengangguku.

“Berjuang?” aku menyerngitkan dahi.

“Berjuang menjaga konsistensi dan kepercayaan eksportir. Terakhir aku kesana para petani mengeluh beberapa petani nakal yang melakukan penyalahan prosedur petik buah mentah, bahkan ada yang mencampur biji Arabika dengan Robusta untuk menambah bobot gelondongan. Tentu akan mempengaruhi kualitas kopi kan? Belum lagi, cita rasa kopi Arabika Semendo ini menarik. Sayang kalau tak dijaga konsistensi rasanya,” Ia menyodorkan kopi di hadapanku.

“Seruput lagi deh,” ujarnya. Aku menggeleng.

“Karakter kopi Semendo ini full body. Aromanya intens dan kaya. Tingkat keasamannya juga rendah. Jadi kamu mau minum lima gelaspun gak bakal sakit perut dan kembung!” Aku terkekeh. Teringat slogan iklan kopi tidak bikin kembung. Ia kembali menyodorkan kopi Arabika Semendo di hadapanku. Aku menyeruputnya lagi.

“Gimana?” tanyanya.

“Apanya gimana?”tanyaku balik.

“Rasanya. Kayak ada…”

“Manis-manisnya?” Aku balas menggodanya.

“Iya, kamu yang manis. Kopinya. Kamu ngrasa ada yang beda kan?”

Aku mengangkat bahu. Tanda sungguh tak paham.

“Cita rasa Arabika Semendo ini fruty. Body-nya nggak terlalu pekat. Rasa akhirnya ringan. Ngrasa kayak ada rasa vanilla kan,”

Aku menyeruput sekali lagi. Benar. Aku merasa ada rasa manis. Seperti rasa karamel dan vanilla. Hujan perlahan reda diluar. Aku merapikan buku-buku.

“Besok jumpa lagi ya! Kita ngopi lagi.” katanya ketika mengantarku hingga pintu kedai kopi. Aku tersenyum. Tak mengiyakan atau menolak.

“Semoga kamu menyukai Arabika Semendo. Aromanya yang kuat, rasa yang nikmat, semoga kau hatimu terpikat dan lekas mengganti coffeelatte-mu dengan produk lokal,”

Aku tertawa. Bukan karena caranya yang menceritakan kopi Semendo bak sales kopi kenamaan. Tapi sepertinya hatiku yang terpikat olehnya lewat secangkir kopi.

Sumber: Clara Ika Phaluphie, penikmat kopi dan lampu jalanan kota kala malam. (Juara III Lomba Cerpen Launching Srivijaya.id)

Tags

Related Post

Leave a Comment

Ads - Before Footer