Sebutan ‘tempat rekreasi’ di Kota Palembang selalu erat konotasinya dengan tempat-tempat hiburan komersil seperti mall, family karaoke, cafe dan sejenisnya. Meski demikian, ada segelintir masyarakat Palembang yang sepakat bahwa taman atau ruang terbuka hijau di Kota Palembang justru merupakan tempat rekreasi andalan. Selain dapat menjadi lokasi berolahraga dan piknik, taman kota dapat menjadi tempat yang ideal untuk menuntaskan sebuah buku bacaan atau sekedar bercengkerama bersama teman-teman. Fungsi taman tersebutlah yang berusaha diangkat oleh sebuah komunitas bernama Roemah Baling (Roemah Baca Keliling).
Hidupkan Kembali Taman Lewat Literasi
Belum begitu banyak komunitas di Sumsel yang berkonsentrasi pada bidang literasi. Bisa dibilang, Roemah Baling adalah salah satu yang paling eksis di Sumsel saat ini. Hampir tiap akhir pekan, Roemah Baling dan para pengurusnya dengan tekun melakukan yang lazim mereka sebut ‘ngampar buku’ di taman-taman kota. Seperti Ahad (03/06) lalu, Komunitas Roemah Baling kembali membuka lapak buku di lingkungan Taman TVRI. Ratusan buku dari berbagai jenis dan genre tersusun rapi di lapak yang mereka gelar, mulai dari majalah, buku dongeng, komik, novel hingga ensiklopedia. Siapa pun yang tertarik boleh berhenti sejenak dan membaca buku-buku tersebut dengan cuma-cuma alias gratis, dengan syarat buku tidak dibawa pulang.
“Pada dasarnya Roemah Baling hadir dengan dua visi. Pertama, untuk menggugah minat baca buku semua orang. Kedua, untuk menghidupkan kembali fungsi taman, karena taman di Palembang sendiri saat ini tengah kehilangan eksistensinya”, ujar Diki Tri Apriansyah Putra, founder sekaligus ketua Roemah Baling Indonesia. Tak hanya menggelar ruang baca terbuka di taman, Diki dan teman-temannya secara rutin melakukan kegiatan diskusi literasi di taman, menyambangi daerah-daerah terpencil di Sumsel untuk mengajarkan budaya baca, serta mengirimkan paket buku bacaan kepada komunitas-komunitas literasi yang ada di Sumsel. “Saat kami hadir di taman, selain menghadirkan buku agar lebih mudah digapai oleh orang-orang di taman, kami juga menjadikan taman sebagai tempat yang multifungsi, baik untuk bermain maupun berdiskusi”, pungkas mahasiswa Pendidikan Sejarah Unsri angkatan 2016 tersebut.
Bedah Karya Bumi Manusia
Ketika disambangi tim Srivijaya.id Ahad (03/06) lalu, Roemah Baling kebetulan tengah mengadakan sebuah diskusi terbuka sekaligus bedah buku “Bumi Manusia”, seri pertama dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Beberapa orang tampak duduk membentuk lingkaran di salah satu pojok taman, menyimak dengan seksama seorang laki-laki yang tengah berbicara. Laki-laki tersebut adalah Alip Dian Pratama, seorang penulis buku sekaligus dosen yang pada saat itu berperan membedah buku Bumi Manusia.
Meski waktu telah sore dan sebagian peserta diskusi tengah berpuasa, semangat diskusi pada saat itu benar-benar menyala. Mereka yang turut hadir ternyata bukan sekedar pembaca, tetapi lebih tepatnya ‘penggila’ tulisan Pram, nama akrab Pramodya Ananta Toer. Meski Tetralogi Pulau Buru tidak sepopuler tulisan Tere-Liye, Boy Chandra atau Pidi Baiq di telinga generasi milenial saat ini, nyatanya karya-karya Pram tetap mampu bersarang dengan indah di hati para penikmat sastra muda, terbukti dari peserta diskusi yang sebagian besar masih berusia belia.
Bedah buku Bumi Manusia diakhiri dengan sebuah diskusi hangat tentang kontroversi pengangkatan Tetralogi Bumi Manusia ke layar lebar. Menanggapi hal tersebut, Bang Alip yang membedah karya Bumi Manusia secara jenaka membagi basis penggemar karya-karya Pram menjadi dua. “Ada yang moderat, ada yang ekstrem. Mereka yang tidak sepakat dan berkeras bahwa karya Pram tak perlu dijadikan film dan cukup jadi buku, adalah mereka yang ekstrem”, tuturnya, kemudian tertawa.
Bang Alip menyatakan bahwa konversi figur sastra ke media yang lebih besar tentu perlu diiringi dengan kesiapan para penggemar karya sastra tersebut terhadap hasil apa pun yang akan muncul. “Kita harus siapkan diri untuk berbagai macam kondisi, baik puas maupun kecewa. Kalau hasilnya (film) mengecewakan, maka ini adalah titik untuk merevisi karya tadi menjadi lebih baik lagi. Kita tidak kekurangan anak-anak negeri, ada banyak otot-otot intelektual di Indonesia. Dan kalau puas dengan hasilnya, kita harus apresiasi. Mungkin demikianlah cara semesta mengatur pertemuan generasi Pram dan generasi millenial”, pungkasnya menanggapi peserta diskusi.
Kelompok diskusi Roemah Baling hanyalah salah satu contoh kecil dari para pecinta karya Pram di seluruh Indonesia yang kini tengah resah. Sebagian besar dari mereka pesimis dengan hasil akhir pemfilman Bumi Manusia, merujuk pada fakta bahwa selama ini selalu terjadi kesenjangan nilai antara film berlatar sejarah dengan sejarah aslinya. Namun terlepas dari masalah kualitas dan estetika sebuah karya, berdiskusi secara terbuka seperti yang dilakukan Roemah Baling adalah solusi untuk menguras keresahan tersebut secara produktif dan profesional, jauh lebih produktif dari sekedar mencaci dan mencela di media sosial. Bravo, Roemah Baling!