“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapat pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lama berjuang”
Demikianlah potongan nasihat lama yang diwariskan oleh Imam Syafi’i. Kata-kata mutiara tersebut diajarkan di banyak pesantren modern seperti Pesantren Gontor, dan menjadi pedoman menuntut ilmu bagi banyak santri-santri di Indonesia hingga ke luar negeri. Bahkan untuk membuatnya lebih terkenal, sesosok penulis berdarah Minang, A. Fuadi, sengaja menuliskannya di lembar pertama novel termasyhurnya yang berjudul Negeri 5 Menara.
Namun sosok yang hendak dibahas tim Srivijaya kali ini bukanlah santriwan atau santriwati yang ‘mondok’ di tanah Jawa. Jauh melipir ke bagian barat Indonesia, tepatnya di Kota Palembang, Sumatera Selatan, hiduplah seorang gadis fresh graduate bertubuh kecil namun ‘lincah’ bernama Ade Tiara, dan dalam sebuah kesempatan untuk mewawancarainya, tim Srivijaya.id memperoleh-dengar segudang kisah istimewanya yang berkaitan dengan nasihat Imam Syafi’i tentang “merantau ke negeri orang”.
Sekilas Tentang Hidup Ade Tiara
Ade Tiara lahir di Palembang pada 24 Juni 1994. Putri bungsu dari pasangan Hidayat dan Yohana ini sedari kecil sudah memperoleh didikan keras dari orangtuanya.
“Abah termasuk orang yang keras dalam mendidik anak-anaknya, gak jarang juga sampe mukul kalau perlu. Sejak SMP, pulang sekolah aku lanjut belajar di tempat les, baru pulang malam sekitar jam 8 atau 9”, kisah gadis yang kerap disapa Ade ini.
Tanpa disadari oleh Ade, hasil didikan orangtuanya berbuah manis, terutama ketika ia berada di bangku kuliah. Ade berhasil lulus dari Unsri dengan menyabet predikat cum laude. Selain diwisuda dengan mengenakan selempang “dengan pujian”, ia juga menyandang selempang lain bertuliskan “Mahasiswa Berprestasi FE 2015”. Sejumlah prestasi ternyata sempat ditorehkannya sebelum ia meninggalkan Fakultas Ekonomi Unsri.
“Sejak kecil aku selalu ingin beda, gak mau mencapai hal yang sama dengan orang lain, bahkan dengan kakak-kakakku sendiri. Aku selalu mengejar sesuatu yang worth to have, yang berbeda, gak mau monoton”, tuturnya kepada tim Srivijaya. Tekadnya yang cukup ‘nyeleneh’ tersebut justru terbukti dapat mengantarkannya mengunjungi berbagai tempat yang jauh. Pengalaman ‘merantau’ ke negeri orang’ pertama Ade Tiara bermula di Negara Qatar.
Rasa Cinta Tanah Air yang Tumbuh Saat Jauh dari Indonesia
Kecintaan seseorang akan negaranya memang unik. Sebagian Warga Negara Indonesia (WNI) biasanya justru menemukan cintanya pada Indonesia saat berada di luar negeri, ketika jauh dari tanah air. Selain karena rindu, perasaan tersebut juga tumbuh karena adanya nuansa kekeluargaan yang muncul secara kolektif di antara orang-orang Indonesia yang bermukim di luar negeri. Ade Tiara merasa beruntung karena sempat menjadi salah satu WNI tersebut.
“Aku ikut Pemilu pertama kali justru saat lagi di Qatar”, tutur Ade Tiara. Ketika berkesempatan mengunjungi seorang kakaknya yang bekerja di Qatar, Ade menyempatkan diri untuk berinteraksi dengan sesama WNI di Qatar yang melakukan pemilihan umum. Salah seorang WNI yang mengetuai paguyuban masyarakat Indonesia di Qatar sempat menyampaikan pidato di hadapan WNI yang hadir untuk mencoblos pada saat itu.
“Isi pidatonyo benar-benar nancep di hati, bahkan sampe sekarang. Om itu bilang, Indonesia itu bukan ada di daging, bukan di darah, bukan di tulang, tapi ada di hati kita masing-masing, seluruh orang Indonesia. Usai pidatonya, mataku sampai basah”, kenang Ade Tiara.
Selain menjalin silaturahmi dengan sesama WNI, Ade juga menyempatkan diri magang di Al-Khor International School, sebuah sekolah internasional yang beroperasi di Qatar. “Jadi sekolah ini ngajarin empat bahasa untuk siswa-siswinya : Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Perancis dan mother language siswanya sesuai negara asal mereka masing-masing. Berhubung aku gak bisa Bahasa Perancis dan Bahasa Arab, jadi aku ngajar Bahasa Indonesia di sana”, kisah Ade sambil tertawa.
Selain menyambangi Qatar, di tahun yang sama Ade sempat menjadi koordinator dalam program study tour Ekonomi Internasional EP Unsri ke Malaysia dan Singapura. Ade dan teman-temannya yang mengambil mata kuliah konsentrasi ekonomi internasional menginisiasi kunjungan belajar ke luar negeri tersebut untuk pertama kalinya dalam sejarah mata kuliah tersebut.
Belajar Banyak dari Amerika Serikat
Meski mengaku gemar jalan-jalan, kunjungan Ade Tiara ke negara asing tidak melulu disokong oleh kocek pribadinya. Awal tahun 2016, Ade lolos dalam seleksi YSEALI winter-spring program yang diadakan selama dua bulan di Amerika Serikat dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Amerika Serikat. “Akhir tahun 2015, aku dapat email dari U.S. Embassy, yang isinya aku dapat scholarship untuk ikut program winter-spring YSEALI di U.S. Seneng nak matilah rasonyo”, kisah Ade antusias pada tim Srivijaya.
Dalam program tersebut, Ade memilih untuk berfokus pada Major of Social Entrepreneurship and Economic Development, selaras dengan ranah keilmuan yang didalaminya di kampus.
“Jadi intinya kami mempelajari tentang mikroekonomi dalam entrepreneur yang memiliki dampak sosial terhadap komunitas atau society, baik entrepreneur yang bersifat NGO (Non-Government Organization) ataupun profit-oriented”.
Selama program berlangsung, Ade dan empat orang delegasi Indonesia lainnya turut berkempatan mengelilingi 12 negara bagian di Amerika Serikat. Berkebalikan dengan stigma negatif tentang Amerika Serikat yang biasa ditemukan dengan gampang di media sosial, Ade justru merasa aman dan nyaman selama perjalanan tersebut.
“Sepanjang perjalanan, tidak sekali pun aku dan teman-temanku mendapat pelakuan tidak menyenangkan, walau salah satu temanku saat itu mengenakan jilbab”, kisah Ade, yang pada saat itu belum berhijab. “Tidak ada disiram kopi panas, dijambak dan lain sebagainya. Padahal yang kami tumpangi saat itu transportasi umum”, tambah Ade.
Bahkan,menurut Ade, mahasiswa-mahasiswa Amerika yang ia temui justru sangat penasaran dan ingin belajar lebih tentang Indonesia. “Mereka sangat ingin tahu tentang Indonesia, karena belum pernah pergi ke luar Amerika seumur hidupnya. Mereka hanya tahu Indonesia adalah Bali, lalu aku bilang di Indonesia ada banyak ‘bali-bali’ lainnya yang jauh lebih indah dan belum mereka ketahui”, timpalnya.
Sepanjang akhir musim dingin hingga awal musim semi di Amerika Serikat tahun 2016, Ade dan peserta program YSEALI lainnya menyibukkan diri dengan menjadi sukarelawan di berbagai organisasi dan program sosial, seperti FoodShare, DC Central Kitchen dan Husky Sport. FoodShare dan DC Central Kitchen adalah organisasi non-profit yang bergerak di bidang pengolahan dan distribusi makanan untuk tunawisma dan warga-warga Amerika yang kurang mampu. “Husky Sport itu nama program kerjasama University of Connecticut dengan beberapa sekolah. Kami sempat jadi volunteer dan ngajar di SD Harford, sekolah khusus imigran di U.S.”, tutur Ade.
Selain lewat berbagai kegiatan sosial, Ade dan teman-temannya juga memperoleh pelajaran berharga tentang toleransi dari warga Amerika Serikat ketika beribadah. “Jadi pernah di suatu Jumat, kami sholat Zuhur di masjid di Washington. Masjid itu sebelahan dengan sebuah sinagoga (rumah ibadah umat Yahudi) dan katedral katolik. Usai beribadah, orang Islam keluar dari masjid, orang Yahudi keluar dari sinagoga dan orang katolik keluar dari gereja. Semuanya saling sapa, salaman, lalu makan sama-sama di dining hall. It is so amazing to live in such harmony”, ungkapnya bangga.
Terdampar di Jepang
Usai dua bulan berada di Amerika Serikat, Ade dan semua peserta pun diwisuda oleh U.S. Embassy dan kembali ke Indonesia. Peserta YSEALI dari seluruh ASEAN menumpangi sebuah pesawat yang bertolak dari Bandara Atlanta menuju Bandara Tokyo, sebelum akhirnya transit ke pesawat tujuan negara asal masing-masing. Namun sebuah kejadian tidak terduga justru menimpa rombongan delegasi Indonesia saat berada di Jepang.
“Sampai di Jepang, kami (rombongan delegasi Indonesia) pisah dengan peserta dari negara lain. Tapi gara-gara malam sebelumnya ada pesta perpisahan kecil-kecilan dan kami tidak tidur sampai pagi, akhirnya kami malah tertidur di Bandara Tokyo”, kisah Ade. Ditambah dengan lama penerbangan dari Atlanta ke Tokyo yang memakan waktu 16 jam, maka genap 24 jam Ade dan teman-temannya sudah terjaga. Kondisi itu pun membuat mereka tertidur pulas hingga h-15 menit penerbangan menuju Jakarta.
“Aku yang pertama kali bangun waktu itu, dan aku langsung merasa ada yang gak beres. Ternyata kami menunggu di gate yang salah”, ujar Ade. Mereka pun langsung lari mengejar gate penerbangan yang benar, namun setibanya di gate tersebut, pesawat mereka ternyata sudah mundur dan bersiap hengkang dari landasan pacu.
“Disitu semua teman-temanku nangis. Petugas bandara gak mau ganti tiket kami. Kami coba hubungi KBRI di Jepang, tapi gak ada jawaban. Isi pikiranku saat itu cuma : aku mampus di negara orang”, kata Ade, lalu tertawa. “Awalnya mereka (petugas bandara) gak mau ganti tiket kami, tapi setelah dicek lagi ternyata memang ada miskomunikasi antara Bandara Atlanta dan Bandara Tokyo. Nomor gate yang dicetak di Bandara Atlanta di boarding pass kami ternyata beda dengan gate pesawat kami yang seharusnya. Akhirnya setelah lobi sana-sini, petugas bandara setuju mengganti tiket kami dan membuatkan kami visa transit”, sambungnya. Visa transit sendiri adalah visa yang khusus diperuntukkan bagi penumpang pesawat yang memiliki paspor Amerika Serikat, Australia atau Britania Raya yang tengah menunggu pesawat transit di negara asing. Selama 12 jam, pemegang visa transit diizinkan berkeliling negara asing tempatnya berada. Siapa sangka, ketinggalan pesawat tersebut justru berbuah kesempatan untuk mengelilingi Tokyo selama empat jam. “Sayangnya waktu kami sempit, karena penerbangan kami ke Indonesia dijadwalkan empat jam setelah kami melobi pihak bandara. Tapi lumayanlah”, ujar Ade sumringah.
Bertanya pada Barrack Obama
Dalam kegiatan YSEALI Summit di Thailand dan Laos pada tahun yang sama, Ade berkesempatan berjumpa langsung dengan Barrack Obama. “Pernah baca fun facts tentang Obama. Katanya Obama suka warna-warna terang dan mencolok, jadi hari itu saat menemui Obama aku pakai setelan baju dan jilbab yang paling mentereng”, ujar Ade antusias. Walhasil, Ade sukses menarik perhatian Obama. Saat sesi tanya jawab berlangsung, Ade adalah salah satu dari sedikit orang ditanggapi Obama ketika bertanya.
“Waktu itu aku tanya, bagaimana sikap Obama sebagai seorang presiden, seandainya salah satu anaknya kini tengah bermukim di wilayah ASEAN dan ingin mengikuti program YSEALI?”, kata Ade, mengingat kembali detil pertanyaannya hari itu.
Belajar Bertani di Laos
Berbeda dengan kegiatan YSEALI sebelumnya yang berfokus di kota, kali ini Ade memilih melipir sedikit ke wilayah pedesaan di negara tertinggal Laos. “Di YSEALI Summit, aku ambil major yang berkaitan dengan teknik dan proses budidaya padi”, ujar Ade.
Selama 10 hari, Ade dan rekan-rekannya mempelajari segala teori dan praktik tentang padi, mulai dari penggarapan lahan dengan bantuan kerbau, penyemaian bibit menjadi benih, penanaman benih di sawah, hingga ke tahap penggilingan.
“Di hari terakhir, tepat saat semua pelajaran selesai, aku langsung nangis. Begitu panjang dan susah proses yang dilewati petani padi untuk menghasilkan beras, sementara selama ini aku sering sekali membuang-buang makanan”, tutur Ade sambil tertunduk.
Dari Ditaksir Teman Biseksual Hingga Hampir Dipukul Preman
Tidak semua pengalaman Ade selama di luar negeri melulu menyenangkan. Misalnya saat berada di Amerika, salah seorang rekan perempuan Ade mengaku bahwa dirinya biseksual dan ia menyukai Ade. “Di negara asalnya, hal seperti itu sudah lumrah. Aku juga awalnya susah menerima, tapi aku coba jelaskan baik-baik kalau aku straight dan tidak punya interest terhadap sesama perempuan. Dia bilang “it’s okay, i just want to tell you my feeling”, dan semuanya baik-baik saja. Kami tetap berteman”, kata Ade.
Topik LGBT menjadi hangat ketika Ade ikut serta dalam ASEAN Youth Forum (AYF) di Filipina. Dalam konferensi pemuda tersebut, LGBT menjadi salah satu mosi yang diperbincangkan.
“Aku sampaikan pandanganku sebagai seorang muslim. Aku bilang bahwa tidak ada agama di dunia ini yang mempersatukan dua manusia dengan gender yang sama. Tapi tetap saja, LGBT ini muncul karena pilihan masing-masing orang. Walau sebagian orang LGBT adalah orang beragama, tapi mereka cenderung tidak mempraktikkan agamanya. They just get lost, dan di dalam hatiku, aku mencemaskan mereka”, ujar Ade.
Pengalaman lain yang juga tak terlupakan juga terjadi saat Ade berada di Filipina. Usai konferensi, Ade berinisiatif untuk berkeliling kota dengan menumpangi kereta listrik. Setelah turun dari kereta, ia memesan GrabBike di lingkungan stasiun tersebut, lalu muncullah sesosok pria yang membawa botol beling.
“Are you a moslem?”, tanya pria itu seraya menodongkan botolnya ke arah Ade. Ade yang saat itu tengah mengenakan jilbab pun langsung mencelos di tempatnya berdiri, lalu tidak mampu memikirkan cara lain untuk menyelamatkan dirinya. Ia pun melepas salah satu peniti jilbabnya lalu berpura-pura itu adalah kerudung biarawati.
“No, i am an orthodox christian”, jawab Ade tergugu. Mengejutkan, pria tersebut langsung mengubah sikapnya dan berkata “have a nice day” sebelum meninggalkan Ade.
Ade yang shock kemudian dihampiri oleh beberapa orang warga Filipina yang melihat kejadian tersebut. “Syukurlah, mereka punya awareness yang bagus terhadap orang asing. Mereka temani aku sampai Grab pesananku sampai di lokasi. Laki-laki tadi kemungkinan sedang mabuk”, kenang Ade dengan geli. “Pulang dari tempat itu, aku langsung bertobat”, tambahnya, tertawa.
Apa Intisari dari Semua Perjalanan Ade Tiara?
“Pada akhirnya ini soal ,mencari jati diri ke-Indonesiaan”, tutur Ade. “Pergi melihat dunia luar itu boleh, tapi jangan terlalu nyaman di rumah orang”, sambungnya. Ade secara jenaka menganalogikan kata-katanya tersebut dengan sebuah pengalamannya melewati musim dingin di Amerika. “Waktu itu musim dingin dan lagi badai, dan hal tentang Indonesia yang paling aku kangenin adalah sayur asem panas, ikan asin dan pete bakar. Mana ada yang jual itu di Amerika”, katanya sambil tertawa.
Ade tidak berniat menyimpan cerita perjalanannya seorang diri. Dia bercita-cita hendak mengajak orangtuanya mengunjungi semua negara yang pernah ia datangi. “Salah satunya U.S. Karena pandangan orangtuaku tentang U.S. masih sama, bahwa Amerika itu kejam dan intoleran, padahal itu masalah perspektif. Aku mau kasih liat mereka semua hal-hal unik yang aku temui di luar negeri, semua tempat yang pernah aku kunjungi”, kata Ade. Awal tahun 2018 lalu, Ade baru usai mengajak ibunya berkeliling Kamboja dan Vietnam.
“Pas berkunjung ke negara berkembang kayak Vietnam, Cambodia dan Laos, aku gak berhenti bersyukur karena lahir dan tinggal di Indonesia. Seburuk-buruknya Indonesia, Indonesia masih tetap jauh lebih bagus dari negara-negara ini”, pungkas Ade Tiara.
“Di Vietnam, aku tinggal sama Mama di distrik satu. Tingkat prostitusi disana sangat tinggi. Mudah sekali ditemukan perempuan-perempuan menjajakan diri di pinggir jalan mulai dari sore hari. Saat itu aku sadar, perempuan di Indonesia masih jauh lebih dihargai daripada disini”, tuturnya sedih.
Selain tingkat prostitusi dan kemiskinan, masalah lain yang menurut Ade tak ingin dilihat oleh orang Indonesia ketika berkunjung ke negara berkembang lain di ASEAN adalah tentang perkara berlalu-lintas. “Sekacau-kacaunya lalu lintas di Indonesia, Vietnam tetap lebih kacau. Walau lampu penyeberangan pedestrian sudah hijau, masih ada saja motor yang tetap lewat. Sebal”, kenang Ade. “Ho Cho Minh City itu sebenarnya kota yang rapi dan bagus, tapi sama sekali tidak ramah bagi pejalan kaki”, tambah Ade.
Selain belajar mensyukuri jati dirinya sebagai WNI, ada kesadaran lain yang muncul di dalam diri Ade Tiara semenjak ia menapakkan kaki di berbagai negara asing. “Ada perasaan khusus waktu denger lagu kebangsaan Indonesia diputar di luar negeri, atau waktu aku lihat bendera Indonesia berkibar di depan gedung pemerintahan negara asing. Di sana, tanah di bawah bendera itu, itu rumahku”. Ade menceritakan pengalamannya mendengarkan lagu Tanah Airku dalam kegiatan AYF. “Selesai lagu, aku langsung nangis”, kisahnya. Lalu di tengah ceritanya tersebut, Ade berhenti sejenak. Ia menyeka matanya yang basah.
Apa Target Ade Tiara dalam Lima Tahun ke Depan?
“Pertama-tama, tentu mendapatkan pekerjaan tetap”, ujarnya terus terang. “Berikutnya, aku merencanakan dapat gelar master dalam bidang regional economic development”, tambahnya.
Ketika ditanya tentang target negara berikutnya yang akan dikunjungi, Ade berkata bahwa ia akan fokus mengelilingi ASEAN dalam lima tahun ke depan. “Juga menginjakkan kaki di Mekah, sudah tentu. Kita gak tahu kapan kita bakal meninggal dunia”, timpalnya.
Target Umur Menikah?
“Nikah itu bonus”, guyon Ade. “Yang terpenting adalah, aku gak mau jadi ordinary mom. Aku mau saat punya anak nanti, aku punya banyak kisah hidup yang bisa aku bagi dengannya, aku mau jadi ibu yang menginspirasi anak-anakku”, terang Ade dengan antusias, menutup percakapan pada malam itu.
Terakhir, untuk semua anak muda yang membaca tulisan ini, Ade Tiara menitipkan sebuah pesan motivasi yang singkat agar semua orang tidak menyerah dalam mengejar mimpinya :
Always believe in your dream. Do not let it dies as a wonder, let it dies in a wander
Biodata Diri
Nama Lengkap : Ade Tiara
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 24 Juni 1994
Nama Ayah : Hidayat
Nama Ibu : Yohana
Riwayat Pendidikan :
- TK Xaverius I
- SD Xaverius I
- SMP Xaverius I
- SMA Xaverius I
- Universitas Sriwijaya Jurusan Ekonomi Pembangunan, Konsentrasi Ekonomi Internasional
Prestasi dan Kegiatan Sosial :
- Koordinator Study Tour Ekonomi Internasional Jurusan EP Unsri (2014)
- Internship sebagai Guru Bahasa Indonesia di Department of Language of Al-Khor International School, Qatar (2014)
- Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (2015)
- Surveyor Pemantau Harga Bank Indonesia (2015)
- Pembicara di World Merit 1st Anniversary (2016)
- Peserta YSEALI Winter-Spring Program in Major of Social Environtment and Economic Development (2016)
- Peserta YSEALI Summit di Thailand dan Laos, Agriculture Class (2016)
- Cum laude dari Ekonomi Pembangunan (2017)
- Delegasi Indonesia dalam ASEAN Youth Forum, Filipina (2017)
Golongan Darah : A-
Riwayat Organisasi :
- Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan
- AIESEC
- YSEALI Alumni Forum
- Save Street Child (Volunteer)
Negara yang Pernah Dikunjungi :
- Vietnam
- Qatar
- Singapura
- Malaysia
- Korea Selatan
- Amerika Serikat
- Jepang
- Thailand
- Laos
- Filipina
- Kamboja