Di Palembang, nama dr. A.K. Gani selalu diinisiasikan dengan nama sebuah rumah sakit militer yang beroperasi di komplek Kasdam II/Sriwijaya, Benteng Kuto Besak. Selain itu, namanya mungkin sering ditemukan di berbagai buku pintar dan RPUL. Namun tentang sejarah dari pemilik nama tersebut, tak banyak masyarakat Palembang yang tahu bagaimana detilnya.
Dr. A.K. Gani, selain seorang dokter praktik, juga adalah politisi, aktivis, jurnalis, seniman, negosiator dan ‘penyelundup’. Di atas semuanya, dia adalah salah seorang tokoh penting dalam proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Kontribusinya bagi kemerdekaan Indonesia membuatnya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, gelar yang hanya dimiliki dua orang dari Sumatera Selatan.
Meski sepanjang karirnya ia aktif berkegiatan di Palembang, dr.A.K. Gani sejatinya adalah seorang putra minang. A.K. Gani Lahir di Palembayan, Agam, Sumatera Barat pada 16 September 1905 dari pasangan Abdul Gani Sutan Mangkuto dan siti Rabayah. Darah pejuang ternyata mengalir dalam nadinya. Salah seorang pamannya, dr. Abdul Rivai, dikenal sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan sekaligus orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar dokter di negeri Belanda.
A.K. Gani menyelesaikan pendidikan awalnya di Bukittinggi pada tahun 1923, lalu melanjutkan sekolahnya di AMS (setara SMA pada masa Belanda) hingga tahun 1928, lalu melanjutkan studinya ke Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundinge Hoge School/GHS) Jakarta.
A.K. Gani membutuhkan waktu 11 tahun untuk menuntaskan studi kedokterannya. Hal tersebut dikarenakan partisipasi aktifnya dalam berbagai organisasi sosial-kepemudaan dan kedaerahan yang ada pada masa itu, seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Dewan Eksekutif Pusat JSB dan juga terlibat dalam Kongres Pemuda II yang kelak melahirkan Sumpah Pemuda. A.K. Gani juga tergabung dalam partai politik Partindo yang merupakan pecahan dari PNI bentukan Soekarno. A.K. Gani juga aktif dalam komite persiapan pendirian organisasi Indonesia Muda dan menjadi anggota Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI).
Meski lama bersekolah, A.K. Gani sama sekali tak bergantung secara finansial kepada orangtuanya. Sejak merantau ke Batavia, ia melakoni berbagai pekerjaan untuk mampu bertahan hidup, mulai dari makelar, wartawan, pemain teater hingga pemeran film. “Asmara Moerni”, satu-satunya film yang dibintangi A.K. Gani sukses secara komersil, meskipun A.K. Gani mendapat kritik pedas dari rekan-rekan aktivisnya karena dinilai menodai gerakan kemerdekaan dengan membintangi sebuah film. Pun demikian, A.K. Gani merasa bahwa meningkatkan kualitas film lokal adalah hal yang penting.
Setelah menuntaskan pendidikan dokternya, A.K. Gani pergi ke Palembang dan membuka praktik dokter. Namun profesi mulianya tak turut meredam gejolak dalam darahnya untuk menjadi aktivis. Ditambah dengan kedekatannya dengan Soekarno yang saat itu belum menjabat presiden, A.K. Gani terus aktif berpolitik. Puncaknya pada tahun 1942 saat jepang memasuki Palembang, A.K. Gani menolak untuk membantu kolonialisasi Jepang di nusantara. Atas sikapnya tersebut, A.K. Gani ditangkap dan dipenjarakan selama 13 bulan oleh tentara Jepang (Kenpetai). Selepasnya dari penjara, A.K. Gani kembali terjun ke ranah politik sebagai seorang aktivis. Ia mengetuai Badan Kebaktian Rakyat Palembang dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Daerah Palembang.
Ketika kemerdekaan dicetuskan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta pada 17 Agustus 1945, A.K. Gani praktis turut dipandang sebagai tokoh penting di luar Pulau Jawa. A.K. Gani diangkat pemerintahan Indonesia yang baru sebagai Kepala Pemerintahan Bangsa Indonesia untuk Keresidenan Palembang, lalu dalam waktu singkat berhasil menyusun badan-badan pemerintahan RI di seluruh Sumatera Selatan. Tak selesai sampai disitu, A.K. Gani juga turut mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Palembang dan menjadi komisarisnya. Pada tahun 1945 pula. A.K. Gani ikut serta dalam keanggotaan Delegasi RI pada perundingan Indonesia-Belanda untuk merealisasikan hasil Konferensi Meja Bundar dan membahas pengembalian Irian Barat.
Setelah proklamasi dan selama masa revolusi fisik, A.K. Gani memperoleh kekuasaan politik dengan ditugaskan di ranah militer. A.K. Gani ditunjuk menjadi Koordinator Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Posisi strategis tersebut diberikan pada A.K. Gani demi mengkoordinasikan usaha pengembangan militer di Provinsi Sumatera Selatan. Dari jabatan itulah kelak A.K. Gani mengembangkan sayapnya hingga menjadi gubernur muda, lalu Gubernur Militer Sumatera Selatan dan akhirnya menjadi Wakil Kementerian Keamanan dan Pertahanan pada Kabinet Sjahrir III. Dari peran barunya tersebutlah, julukan “The Biggest Smuggler in South East Asia (Penyelundup Terbesar di Asia Tenggara)” dilabelkan kepadanya oleh media asing.
Pada masa awal pasca-proklamasi, Belanda melakukan blokade ekonomi terhadap Indonesia. Hal tersebut turut mempersulit keadaan ekonomi di dalam negeri, khususnya Sumatera Selatan yang tengah berusaha memajukan kekuatan militer. A.K. Gani pun mengambil langkah strategis dengan mengandalkan koneksinya yang berada di Indonesia dan Singapura. A.K. Gani dengan bantuan koneksinya sukses menyelundupkan hasil bumi Sumatera Selatan ke Singapura, untuk kemudian diperdagangkan dengan senjata dan perlengkapan militer.
Karir A.K. Gani terus bergulir dalam pemerintahan Soekarno. Pada tahun 1947 hingga 1948, ia ditunjuk menjadi Wakil Perdana Menteri Indonesia merangkap Menteri Kemakmuran. A.K. Gani juga menjadi delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati. Ia juga pernah diutus oleh Soekarno ke Havana, Kuba, pada Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Ketenagakerjaan. Selebihnya, A.K. Gani berkiprah menjalankan tugas negaranya dari Palembang, dan semua usahanya didedikasikan untuk kemerdekaan Indonesia seutuh-utuhnya.
Setelah Kabinet Sjahrir III jatuh dan revolusi fisik usai, Gani terus menjalankan tugasnya sebagai Gubernur Militer Sumatera Selatan. Pada tahun 1954, A.K. Gani diangkat menjadi rektor Universitas Sriwijaya. Selebihnya, A.K. Gani meneruskan praktik dokternya di Palembang.
A.K. Gani menghembuskan napas terakhirnya di RS. Charitas, Palembang, pada 23 Desember 1968. Atas berbagai jasa dan upayanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, A.K. Gani dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Siguntang di Palembang dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. A.K. Gani meninggalkan seorang istri bernama Masturah dan tidak mempunyai anak kandung hingga akhir hayatnya.
(Sumber : viva.co.id; wikipedia)
Sumber foto : kebudayaan.kemendikbud.go.id