Sungai dapat diumpamakan sebagai penyambung nyawa bagi banyak wilayah di Sumsel. Sungai Musi contohnya. Selain menjadi jalan raya bagi transportasi air warga Sumsel, kekayaan jenis ikan air tawar di Sungai Musi menjadikannya salah satu sumber penghidupan utama bagi masyarakat yang bermukim di tepiannya. Ternyata, Palembang bukanlah satu-satunya wilayah yang memaksimalkan manfaat dari Sungai Musi. Jauh di barat Kota Palembang, nenek moyang warga Empat Lawang juga menjalin hubungan harmonis antara keberadaan manusia dan Sungai Musi sejak dahulu kala.
Tepatnya di Desa Terusan, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, terdapat sebuah tradisi menangkap ikan yang masih dilestarikan oleh masyarakatnya hingga kini. Tradisi tersebut bernama Lumpatan, yang konon sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Lumpatan sendiri merupakan alat untuk menangkap ikan yang dibuat menggunakan bilah bambu yang diikat dengan rotan. Lumpatan serupa dengan perangkap ikan bubu. Perbedaan utama antara bubu dan lumpatan terdapat pada ukurannya, karena lumpatan sendiri berukuran sangat besar, sehingga jumlah tangkapannya jauh lebih banyak. Ikan yang ditangkap warga menggunakan lumpatan biasanya tidak hanya dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari, akan tetapi juga dijual ke pasar dan penadah ikan segar.
Tradisi menangkap ikan dengan lumpatan di Desa Terusan masih lestari hingga saat ini, selain karena bernilai ekonomis, juga dianggap ramah lingkungan dan tidak mengancam populasi ikan di Sungai Musi.
Sarnubi (50), tokoh masyarakat Desa Terusan Lama mengungkapkan bahwa membuat lumpatan tidaklah mudah, sebab harus ada ahli dan melibatkan kelompok masyarakat tertentu yang sudah membuat lumpatan secara turun-temurun. Biayanya pun tidak sedikit, bahkan bisa mencapai jutaan rupiah untuk satu lumpatan. Untuk lumpatan berukuran 10 meter, membutuhkan hampir 500 batang bambu berukuran besar. Pembuatan lumpatan biasa dilakukan secara gotong-royong dan swadaya, dengan kelompok berisi hingga 20 orang. Lumpatan yang dibuat oleh warga desa diklaim dapat berfungsi selama satu tahun lamanya.
“Butuh biaya besar, makanya harus ada kelompoknya. Hasil ikan dibagi merata anggota kelompok dan tidak jarang dibagikan juga ke masyarakat sekitar”, tukas Sarnubi, dilansir dari kabarsumatera.com. Sarnubi berkisah bahwa saat ini ahli pembuat lumpatan tinggal beberapa orang saja.
Arahman (46), warga lainnya juga bertutur bahwa lumpatan merupakan bagian dari tradisi nenek motang, maka sebelum dibentang di sungai, ada beberapa ritual khusus yang terlebih dahulu harus digelar. “Berdo’a bersama dulu, biasanya dilakukan diatas lumpatan”, bebernya. Tradisi tersebut tak lain dilakukan agar hasil tangkapan lumpatan mernjadi berlimpah dan berkah.
Sementara itu, Kades Terusan Lama, Parozi, menjelaskan bahwa pemerintah desa secara umum tidak terlibat langsung dalam pembuatan lumpatan. “Anggota (pembuatan) lumpatan sudah permanen, kalau ada orang baru mau masuk dalam pembuatan lumpatan harus izin dari anggota dan mengikuti aturannya”, jelas Parozi, dilansir dari kabarsumatera.com.
(sumber : kabarsumatera.com; pena-sumatera.com)