Hal pertama yang terlintas di pikiran semua orang saat kali mendengar nama Palembang tentu adalah Jembatan Ampera. Jembatan legendaris tersebut sudah berdiri mengangkangi Sungai Musi sejak era Presiden soekarno, tepatnya tahun 1966. Predikatnya sebagai saksi bisu pembangunan urban Palembang menjadikannya sebagai ikon Kota Pempek satu ini.
Tak terhitung kali Jembatan Ampera mengalami renovasi, mulai dari peremajaan, pemasangan jam digital, hingga pengubahan warna cat. Namun salah satu yang paling diingat masyarakat Palembang zaman ‘bingen’ adalah pelepasan bandul di bagian tengah jembatan yang dulu berfungsi mengangkat bagian tengah Jembatan Ampera.
Selain itu, masih ada fakta-fakta sejarah lain yang hidup mengisi tiap celah pasak Jembatan Ampera. Srivijaya.id kali ini akan mengupas beberapa informasi seputar pembangunan Jembatan Ampera, yang sebagiannya bahkan mungkin belum diketahui oleh sebagia orang Palembang
- Telah Direncanakan Sejak Zaman Belanda
Gagasan mengenai pembangunan jembatan yang menghubungkan wilayah Seberang Ilir dan Seberang Ulu tersebut sebenarnya sudah muncul sejak zaman Belanda, tepatnya di tahun 1906 pada masa Gemeente. Gagasan tersebut kembali mencuat pada tahun 1924, saat Palembang dipimpin Cocq De Ville. Meski dilakukan banyak usaha untuk mencapainya, niat pembangunan jembatan tersebut tidak pernah terealisasi, bahkan hingga Belanda hengkang dari Indonesia.
Barulah saat Indonesia merdeka, orang-orang berpengaruh di Palembang mulai menyatukan suara dan tekadnya untuk membangun jembatan di atas Sungai Musi. Tokoh-tokoh seperti Harun Sohar, H.A. Bastari, M. Ali Amin dan Indra Jaya ditunjuk menjadi panitia pembangunan jembatan, yang pada masa itu dinamai ‘Jembatan Musi’, merujuk pada nama Sungai Musi. Panitia pembangunan tersebut kemudian melakukan pendekatan personal kepada Presiden RI, Ir. Soekarno. Soekarno ternyata menyambut ide tersebut dengan antusias. Setelah mendapat restu dari presiden dan bantuan penuh dari berbagai elemen pemerintahan, kontrak pun akhirnya diteken pada 14 Desember 1961 dengan perusahaan pembangunan dan insinyur jembatan asal Jepang. Nilai kontrak pada masa itu ditaksir bernilai USD 4.500.000,-, dengan kurs USD 1,- = Rp. 200,-.
- Dibangun dari Dana Rampasan Perang
Gagasan untuk membangun jembatan termasuk gagasan yang ‘nekat’. Hal tersebut dikarenakan anggaran awal yang dimiliki Pemkot Palembang pada masa itu hanya berjumlah Rp. 30.000,- (sekitar USD 6.000.000,- dengan kurs USD 1 = Rp. 200,-).
Namun setelah lobi yang sukses dengan pemerintah pusat, Jembatan Ampera akhirnya tetap dibangun pada tahun 1962 setelah perusahaan pembangunan asal Jepang ditunjuk pemerintah RI sebagai pelaksana pembangunan. Selain melibatkan Jepang sebagai penanggungjawab, Jembatan Ampera juga dibangun dengan menggunakan dana rampasan perang yang diperoleh dari Jepang. Jepang yang kalah dalam Perang Dunia II tercatat berhutang sebesar USD 223,08 juta (sekarang setara USD 1,8 miliar/ Rp. 20 triliun) kepada Indonesia, yang dicairkan secara berkala selama 12 tahun sejak 1959.
- Dulunya Merupakan Jembatan Angkat
Pemilihan kontraktor Jepang sebagai penanggungjawab pembangunan Jembatan Ampera bukan tanpa alasan berarti. Presiden Soekarno percaya kepada kemampuan dan integritas Jepang—yang pada masa itu tengah bangkit dari resesi ekonomi dengan pesat—dalam membangun infrastruktur yang awet dan memiliki umur fungsional yang panjang. Hal tersebut terbukti setelah Jembatan Ampera selesai dibangun. Selain diklaim memiliki umur fungsional 100 tahun, Jembatan Ampera juga dilengkapi dengan fungsi yang tidak dimiliki banyak jembatan di dunia pada masa itu : Jembatan Ampera dapat diangkat. Bagian tengahnya dapat ditarik naik dengan mengandalkan sepasang bandul di kedua menaranya, sehingga kapal tanker pengangkut hasil bumi dapat berlayar masuk ke perairan Sungai Musi melewati kolong Ampera. Kapal dengan tinggi maksimum hingga 44,5 meter dan lebar 60 meter dapat melewati kolong tersebut.
Meski menakjubkan, nyatanya teknologi buka-tutup Jembatan Ampera tersebut tidak berumur sepanjang Jembatan Ampera itu sendiri. Hanya tujuh tahun pasca diresmikannya Jembatan Ampera, tepatnya pada tahun 1970, teknologi buka-tutup Jembatan Ampera berhenti beroperasi karena alasan mobilitas penduduk yang semakin intens. Jembatan Ampera setidaknya memerlukan waktu masing-masing 30 menit untuk menaikkan dan menurunkan bagian tengahnya. Lamanya waktu buka-tutup tersebut dinilai kurang efisien dan memungkinkan kemacetan lalu-lintas, karena pada masa itu kegiatan ekonomi di Palembang sudah mulai berkembang. Pada tahun 1990, bandul raksasa di menara Jembatan Ampera akhirnya diturunkan karena faktor keamanan.
- Sempat Dinamai “Jembatan Soekarno”
Tidak semua orang Palembang yang lahir di atas tahun 1967 tahu bahwa Jembatan Ampera dulunya pernah dinamai “Jembatan Soekarno”. Hal tersebut karena Jembatan Soekarno berganti nama menjadi Jembatan Ampera pada tahun 1967, beriringan dengan lengsernya pemerintahan Soekarno. Awalnya jembatan penghubung Seberang Ulu dan Seberang Ilir Palembang tersebut dinamai Jembatan Soekarno sebagai bentuk apresiasi kepada Presiden RI pertama atas keseriusannya dalam mengusahakan pembangunan jembatan.
Namun memasuki tahun 1966, terjadi konflik politik di Indonesia, yang kemudian meruncing menjadi konfrontasi bersenjata antara PKI dengan pemerintah RI dan ABRI. Konflik tersebut berimbas pada stabilitas keamanan dalam tubuh masyarakat, tak terkecuali bagi masyarakat Palembang. Sentimen anti PKI berkembang di antara warga Palembang, terutama pasca terbunuhnya Jenderal A. Yani, Panglima ABRI yang pernah turut serta meresmikan Jembatan Ampera. Citra Presiden Soekarno yang pada masa itu dikenal menjalin hubungan dekat dengan para petinggi PKI tak luput dari sasaran kebencian massa. Demi meredam suasana yang keruh pada masa itu, pemerintah akhirnya mengganti nama Jembatan Soekarno menjadi ‘Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat)’, sebuah slogan yang pada masanya sering dielukan oleh Soekarno.
- Telah Puluhan Kali Direnovasi
Klaim umur 100 tahun Jembatan Ampera oleh kontraktor Jepang tentu hanya angan-angan jika tidak disertai dengan perawatan bangunan jembatan secara berkala. Sejak pertama kali berdiri, tak terhitung sudah berapa kali pasak Jembatan Ampera terhantam kapal tongkang pengangkut hasil bumi. Belum lagi ditambah pencurian rangka besi dan onderdil mesin menara jembatan oleh orang-orang tidak bertanggunjawab semasa resesi ekonomi. Pada tahun 1981, Jembatan Ampera pernah direnovasi besar-besaran hingga menelan biaya Rp. 850 juta. Pada era Walikota Edy Santana, Ampera dipercantik dengan pemasangan lampu hias dan lampu taman. Hingga saat ini Ampera tercatat pernah berganti warna cat hingga dua kali, yaitu pada tahun 1992 dari abu-abu menjadi kuning, kemudian tahun 2002 dari kuning menjadi merah. Menyambut Asian Games 2018, Jembatan Ampera terus dipercantik dengan penambahan lampu hias dan bangku taman.
- Akan Dibangun Street Cafe pada Masa Mendatang
Usaha Pemprov Sumsel dan Pemkot Palembang dalam mempercantik Jembatan Ampera tentu belum akan berhenti sebatas Asian Games 2018. Pemerintah memiliki rencana jangka panjang dalam pemanfaatan Jembatan Ampera sebagai ruang terbuka publik, karena keberadaannya yang dinilai ikonik dan mewakili destinasi wisata yang ada di Palembang.
Setelah pembangunan Jembatan Musi IV dan Musi VI di Palembang rampung, pemerintah berwacana akan menjadikan Jembatan Ampera sebagai lokasi baru street walk seperti yang ada di Cinde. Dalam wacana tersebut, Ampera bukan hanya akan ditutup pada hari-hari tertentu bagi kendaraan bermotor, tetapi juga menjadi angkringan alias cafe terbuka, sehingga nantinya akan ada integrasi antara Lorong Basah Night Culinary di Pasar 16 Ilir dengan pelataran Jembatan Ampera. Meski demikian, belum diketahui kapan rencana tersebut akan mulai direalisasikan.
(dirangkum dari berbagai sumber)