Warga Palembang tentu sudah tak asing dengan nama Masjid Muhammad Cheng Ho. Sebelum melekat pada sebuah masjid yang berlokasi di dekat Pasar Induk Jakabaring tersebut, nama Cheng Ho tersebut awalnya dikenal sebagai nama salah seorang laksamana berkebangsaan Tiongkok yang sering singgah di Kota Palembang tempo dulu, tepatnya pada abad ke-15.
Dalam sebuah batu prasasti yang ditemukan di Provinsi Fujian, Tiongkok, dijelaskan bahwa Cheng Ho hidup dan mengabdi pada raja Dinasti Ming di Tiongkok. Atas mandat yang diberikan raja kepadanya, Cheng Ho melakukan sebuah perjalanan mengelilingi dunia dalam rangka eskpedisi, meliputi tujuh kali pelayaran dengan total waktu selama 28 tahun (1405 M – 1433 M). Selama ekspedisi tersebut, tak kurang dari 30 negara di Benua Asia dan Afrika telah disambangi Cheng Ho dan armadanya. Tanggal yang disebut pada prasasti tersebut membuktikan bahwa ekspedisi yang dilakukan oleh Cheng Ho telah berlangsung jauh lebih dulu dari berbagai penjelajahan yang dilakukan pelaut Barat, seperti Christopher Columbus, Ferdinand Magellan dan Vasco da Gama. Jumlah armada yang dibawa Cheng Ho dalam penjelahannya pun tidak main-main. Pada pelayaran pertamanya, Cheng Ho membawa serta 307 unit kapal layar besar dengan total muatan 27.800 awak kapal, jauh berbeda dengan penjelajahan Christopher Columbus yang hanya membawa tiga unit kapal layar dan 88 awak kapal.
Sebagai seorang pelaut dan penjelajah, nama Cheng Ho di nusantara sering dibandingkan dengan Ibnu Battutah, penjelajah tersohor asal negeri Maroko. Salah satu tempat yang paling lama disinggahi Cheng Ho ketika menjelajahi nusantara tak lain tak bukan adalah Palembang, kota tertua yang ada di nusantara.
Masa Kecil Cheng Ho
Cheng Ho (dikenal juga dengan nama Zheng He) lahir pada tahun 1371 Masehi di Provinsi Yunan, di bagian Barat Daya Tiongkok yang sekarang diketahui. Cheng Ho lahir dan tumbuh dari keluarga muslim. Ayahnya bahkan pernah menunaikan ibadah haji ke tanah Suci, Mekah.
Ketika berusia 10 tahun, terjadi pergolakan di tanah Tiongkok. Cheng Ho dan anak-anak lain seumurannya ditangkap oleh sekelompok tentara yang menginvasi wilayah Yunan. Tiga tahun kemudian, mereka lalu dipekerjakan sebagai pelayan rumah tangga oleh Pangeran Zhu Di, putra keempat dari Kaisar Tiongkok yang berkuasa pada masa itu. Cheng Ho, secara istimewa, menjadi pelayan khusus Pangeran Zhu Di. Dari sanalah pintu masuk Cheng Ho menuju karir militernya terbuka lebar.
Pergaulannya dengan Pangeran Zhu Di membuat Cheng Ho belajar banyak hal, mulai dari diplomasi hingga seni perang. Ketika Pangeran Zhu Di diangkat menjadi Kaisar Tiongkok pada tahun 1402, Cheng Ho sebagai abdinya yang paling setia turut mendapatkan kenaikan derajat. Kaisar Zhu Di menunjuknya menjadi seorang laksamana, lalu memberinya misi untuk menjelajahi dunia. Cheng Ho adalah abdi istana pertama yang memiliki posisi tinggi dalam militer Tiongkok kala itu.
Muslim yang Taat
Tak banyak orang yang sadar bahwa selain Bangsa Arab dan India, Bangsa Tiongkok juga merupakan salah satu bangsa pendatang yang turut menyebarkan agama Islam di nusantara. Islam yang dibawa Bangsa Tiongkok menyebar melalui akulturasi budaya, baik yang terjadi lewat perdagangan maupun pernikahan antar-etnis. Salah satu komunitas Tionghoa yang berperan menyebarkan Islam di Kota Palembang tak lain adalah armada Cheng Ho.
Sebagian sejarawan kerap menyebut Cheng Ho sebagai seorang muslim yang taat. Sebelum menggelar pelayaran pertamanya pada tahun 1405 M, Cheng Ho dan rombongan besarnya yang beragama Islam terlebih dahulu melaksanakan sholat di sebuah masjid di Kota Quanzhou, Provinsi Fujian. Dalam pelayaran pertamanya, Cheng Ho dan armada yang dipimpinnya mencapai Kalkuta (India), Srilangka, Vietnam, Semenanjung Malaya, Sumatera dan Jawa. Di setiap lokasi yang mereka capai, armada Laksamana Cheng Ho singgah untuk waktu beberapa lama dan melakukan perdagangan barter dan pertukaran budaya dengan penduduk lokal. Konon lewat cara inilah Islam di Kota Palembang menyebar.
Setelah sukses melakukan ekspedisi di nusantara, Cheng Ho memimpin armadanya pulang ke Tiongkok pada tahun 1407 M. Pelayaran kedua armada Cheng Ho berlanjut pada tahun yang sama, namun Cheng Ho tidak memimpin armadanya karena ia bertugas merenovasi masjid di kampung halamannya. Ia baru naik kembali ke geladak kapalnya setelah tugas merenovasi masjidnya selesai pada ekspedisi ketiga di tahun 1409 M.
Akhir Hayat Cheng Ho
Cheng Ho dan armadanya kembali mencapai India dan Srilangka pada ekspedisi ketiga di tahun 1409 M – 1411 M. Cheng Ho mulai menjamah Benua “Hitam” Afrika pada ekspedisi keempat, kelima dan keenamnya sepanjang tahun 1413 M hingga 1422 M. Cheng Ho menancapkan bendera Dinasti Ming di Aden, Teluk Persia dan Mogadishu. Ekspedisi terakhir yang dilakukan Cheng Ho berlangsung pada tahun 1431 M – 1433 M, dimana ia berhasil mencapai Laut Merah. Ekspedisi Cheng Ho yang luar biasa tersebut termaktub dalam buku Zheng He’s Navigation Map. Terdapat 24 peta navigasi dalam buku tersebut yang meliputi arah pelayaran, jarak pelayaran dan daftar berbagai pelabuhan. Total jarak pelayaran armada Cheng Ho yang tercatat adalah 35.000 mil.
Ekspedisi Cheng Ho berpengaruh bukan hanya pada wilayah-wilayah yang disinggahinya, melainkan juga bagi Kerajaan Tiongkok sendiri. Catatan pelayaran Cheng Ho turut memperkaya informasi yang dimiliki Tiongkok tentang peta lautan. Jalur perdagangan Tiongkok pun berubah, tidak sekedar bergantung pada Jalur Sutera yang membentang di daratan sepanjang Beijing hingga Bukhara.
Berbeda dengan penjelajah Barat yang kerap mempraktikkan penindasan dan dominasi pada wilayah yang disinggahi, Cheng Ho dan armadanya tidak menekankan kekuatan militer di setiap persinggahan mereka. Kekuatan militer mereka hanya dikerahkan ketika armada Cheng Ho berhadapan dengan perompak di sepanjang jalur penjelajahan. Prinsip tersebut beranjak dari tujuan dari misi lain yang dibawa Cheng Ho, yaitu untuk memperkenalkan keagungan Kaisar Zhu Di dan Dinasti Ming yang memimpin Tiongkok pada masa itu.
Cheng Ho tutup usia di Caliut, India, dalam perjalanan pulangnya dari ekspedisi terakhir di Laut Merah. Meski demikian, tak sedikit pula yang meyakini Cheng Ho wafat di kampung halamannya pada tahun 1835 setibanya dari ekspedisi terakhir.
Peninggalan Cheng Ho di Tanah Air
Ekspedisi Cheng Ho turut menyisakan banyak peninggalan di seluruh nusantara. Cheng Ho memang pantas diidentikkan sebagai simbol akulturasi. Sebagai seorang tionghoa yang diyakini memeluk muslim, ia turut mempelopori penyebaran Islam di Jawa dan Sumatera., karena kedatangannya ke nusantara terjadi sebelum adanya Wali Songo.
Selain agama Islam dan kebudayaan tionghoa, penjelajahan Cheng Ho juga meninggalkan unsur-unsur materiil pada wilayah yang disinggahinya di nusantara. Ketika berkunjung ke Samudera Pasai (Aceh) , ia menghadiahi Sultan Samudera Pasai sebuah lonceng raksasa “Cakra Donya” yang hingga kini masih tersimpan di Museum Aceh. Ketika berlabuh di Cirebon, Cheng Ho juga menghadiahi Raja Cirebon cinderamata dari Tiongkok, salah satunya berupa piring bertuliskan Ayat Kursy. Nama Cheng Ho juga dipakai sebagai nama sebuah Masjid di Jawa Timur dan sebuah Kelenteng di Semarang.
Masjid Muhammad Cheng Ho Palembang (sumber : lihat.co.id)
Di Palembang sendiri, nama Cheng Ho diabadikan sebagai nama sebuah masjid berarsitektur tionghoa di wilayah Jakabaring. Terhitung sejak pelayaran pertama hingga ketujuhnya, Cheng Ho dan armadanya pernah mengunjungi Kota Palembang sebanyak empat kali. Pada masa Kerajaan Sriwijaya masih berkuasa, Cheng Ho berjasa dalam menumpas perompak Tiongkok bernama Chen Tsu Ji yang kerap menyamun pedagang yang melintas di wilayah Muara Sungai Musi.
(Sumber : muslimdaily.net; wikipedia; zetizen.com)