Belum genap sebulan lalu, survei idn.times menyatakan bahwa Kota Palembang adalah kota hunian ternyaman kedua di Indonesia. Hasil Survei tersebut beranjak dari beberapa indikator, dan salah satunya adalah nilai kepuasan masyarakat terhadap ketersediaan tempat ibadah. Dalam indikator satu ini, rasanya wajar bila Palembang kerap unggul dibanding kota-kota lain di Indonesia, karena selain komposisi masyarakatnya yang multi-etnis dan multi-religi, terdapat banyak sekali rumah untuk tiap umat beragama di Palembang. Tak ayal, beberapa rumah ibadah di Palembang bahkan mampu menjadi magnet bagi turis domestik dan mancanegara. Sebut saja contohnya, Masjid Bajumi Wahab di Desa Tanjung Sejaro, Kelenteng Soei Goat Kiong di tepi Sungai Musi Palembang dan Klenteng Tua Hok Cheng Bio di Pulau Kemaro.
Tentang Klenteng Hok Cheng Bio di Pulau Kemaro, masyarakat Palembang tentu sudah tidak asing. Meski tidak semua orang Palembang pernah menyambangi Pulau Kemaro, namun rasanya tidak ada orang Palembang yang tak pernah mendengar namanya—selain anak-anak yang masih kecil. Kompleks peribadatan umat Budha tersebut memiliki sebuah pagoda sembilan tingkat yang sangat ikonik, sehingga keberadaan Kelenteng dan Pagoda tersebut selalu dikaitkan dengan nama Pulau Kemaro itu sendiri. Tiap tahun selama perayaan Cap Go Meh, Pulau Kemaro biasanya akan dikunjungi ratusan bahkan ribuan turis dalam sehari semalam. Pemkot Palembang turut menyokong volume kunjungan tersebut dengan mempermudah akses menuju Pulau Kemaro, yaitu dengan menjejerkan kapal ponton di sebelah Utara Pulau Kemaro, sehingga menjadi jembatan sementara penghubung Pulau Kemaro dengan dermaga yang ada di Kelurahan 2 Ilir.
Legenda Pulau Kemaro yang Termasyhur
Alkisah dahulu kala, seorang putra Kerajaan Tiongkok bernama Tan Bun An datang berlayar ke Kota Palembang untuk berniaga bersama para pengawalnya. Demi mendapatkan izin untuk berdagang, Tan Bun An pergi menghadap penguasa Palembang pada masa itu. Tak disangka, itikadnya bertamu untuk memperoleh izin justru teralihkan seketika tatkala ia berpapasan dengan Siti Fatimah, putri penguasa Palembang yang cantik jelita. Tergoda akan kecantikannya, maka Tan Bun An pun mengutarakan maksudnya kepada penguasa untuk meminang putrinya. Sang Penguasa sepakat. Namun mengingat bahwa hubungan yang dikehendaki adalah hubungan lintas bangsa, maka Sang Penguasa hendak menguji cinta Tan Bun An. Ia meminta tujuh guci berisi emas sebagai mahar pernikahan mereka. Tan Bun An pun menerima syarat dari calon mertuanya tersebut.
Tan Bun An pun mengirim surat kepada orangtuanya di Tiongkok bahwa ia akan segera meminang putri dari kerajaan yang jauh di pedalaman Sumatera. Orangtua Tan Bun An senang bukan kepalang. Sebagai ungkapan kesenangan dan dukungan mereka, Tan Bun An pun dikirimi sebuah surat balasan, beserta tujuh guci tanah liat berisi harta yang kelak dapat Tan Bun An gunakan untuk melamar Siti Fatimah.
Alangkah terkejutnya Tan Bun An ketika ia membuka guci yang dikirimkan oleh kedua orangtuanya. Bukan harta benda emas-perak maupun berlian dan delima yang ia temukan, melainkan tumpukan sayur sawi yang diasinkan*. Tan Bun An pun muntab. Ia sangat marah, juga malu. Kemurkaannya mendorong Tan Bun An untuk membuang semua pemberian orangtuanya tersebut. Satu per satu ia jatuhkan guci tanah liat itu ke Sungai Musi, memecah riak dan gelombang.
Ketika hendak membuang guci ketujuh, tanpa sengaja kaki Tan Bun An tersandung. Guci yang ia bawa pun terjatuh dan pecah berhamburan di atas geladak kapal. Tan Bun An terkesiap. Tak hanya sawi asin yang tumpah dari guci yang pecah, melainkan juga harta benda dan emas yang berbongkah-bongkah. Seketika gelaplah mata Tan Bun An. Tanpa berpikir panjang, ia melompat ke Sungai Musi, menyusul keenam guci yang telah ia buang dengan ceroboh. Melihat tindakan majikannya yang membahayakan nyawa, dua pengawal Tan Bun An pun ikut terjun ke Sungai Musi, hendak menyelamatkan Tan Bun An.
Tak lama setelah kejadian tersebut, datanglah Siti Fatimah hendak menengok pujaan hatinya. Kenyataan pahit yang ia peroleh. Kekasihnya baru saja turun menyongsong maut di dasar Sungai Musi bersama dua pengawal setianya, tak kunjung naik ke permukaan. Siti Fatimah pun nelangsa. Baginya tak apa jika ia dan kekasihnya tak bersatu di pelaminan, asal mereka dapat tetap bersama, meski tak lagi beraga. Ia pun turut terjun menyusul kekasih sehidup-sematinya. Mereka pun hilang untuk selamanya, mati membawa serta apa yang mereka punya.
Konon tak lama setelah Siti Fatimah terjun ke Sungai Musi, sebuah gundukan tanah mencuat ke permukaan air. Sebagian orang percaya bahwa gundukan tanah tersebut adalah kubur dari Siti Fatimah, Tan Bun An, beserta dua pengawal setia Tan Bun An.
Antara Fakta dan Legenda
Kisah Tan Bun An dan Siti Fatimah terukir pada sebuah prasasti porselen di dekat Klenteng Hok Cheng Bio, Pulau Kemaro. Kisah tersebutlah yang selama ini dipahami masyarakat setempat sebagai awal mula munculnya Pulau Kemaro, satu-satunya kisah yang mampu direka oleh masyarakat. Meski demikian, nyatanya tak ada bukti sejarah yang mendukung kebenaran cerita Tan Bun An dan Siti Fatimah tersebut—terlepas dari peristiwa kemunculan Pulau Kemaro secara tiba-tiba setelah Siti Fatimah tenggelam, yang memang hanya fiktif belaka.
Pulau Kemaro sejatinya adalah sebuah delta atau daratan yang terbentuk akibat penumpukan material padat yang terbawa arus sungai. Masyarakat setempat menyebutnya Pulau Kemaro merujuk pada kata “kemarau”, karena Pulau Kemaro tidak pernah kebanjiran sekali pun meski air Sungai Musi tengah pasang. Pulau Kemaro kemudian dikeramatkan karena hal tersebut, ditambah dengan kisah tentang Siti Fatimah yang tenggelam di Sungai Musi.
Setidaknya harus ada dua unsur cerita yang perlu dirumuskan dalilnya agar kisah Tan Bun An dan Siti Fatimah tersebut menjadi layak diceritakan sebagai sejarah, antara lain : latar (baik latar waktu maupun tempat) dan karakter. Hingga kini, belum ada catatan sejarah yang menegaskan keabsahan kedua unsur tersebut. Sebut saja, latar waktu. Anggaplah kisah tersebut benar terjadi, maka latar waktu dan karakter dalam ceritanya tentu saling mempengaruhi. Dari namanya, Siti Fatimah tentulah seorang muslim, dan jika ia adalah keturunan penguasa Palembang, maka pada saat itu pula Palembang pasti tengah dipimpin oleh pemimpin muslim. Sementara dalam catatan sejarah Palembang, sultan pertama yang memimpin Kota Palembang adalah Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam atau yang juga dikenal dengan nama Pangeran Aryo Kesuma. Aryo Kesuma tercatat mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1659. Maka, mungkinkah Pulau Kemaro baru muncul setelah Aryo Kesuma berkuasa?
Terlepas dari kapan Pulau Kemaro mulai ada, nyatanya Pulau Kemaro memiliki fungsi strategis bagi penguasa Palembang dalam menahan laju invasi VOC. Terhitung pada Perang Palembang I dan Perang Palembang II sepanjang awal abad ke-19, Kesultanan Palembang mendirikan salah satu benteng maritim terkuat Kesultanan Palembang di atas tanah Pulau Kemaro. Benteng tersebut dinamai Benteng Tambak Bayo. Dalam berbagai invasinya, Belanda kehilangan banyak kapal dan anak buah karena pertahanan Benteng Tambak Bayo yang solid.
Namun ketika Belanda akhirnya berhasil menduduki Palembang pada tahun 1821, semua benteng yang ada di sekitar Keraton Kuto Gawang—sekarang wilayah Pusri—diluluh-lantakkan oleh Belanda, termasuk Benteng Tambak Bayo. Bahkan tak ada sedikit pun sisa-sisa bangunan benteng yang masih berdiri hingga saat ini.
Berdirinya Klenteng Hok Cheng Bio
Lantas sejak kapan Klenteng Hok Cheng Bio didirikan di Pulau Kemaro? Kelenteng tersebut baru didirikan pada tahun 1962, menyusul pagoda sembilan lantai yang dibangun pada tahun 2006. Hal inilah yang tidak banyak diketahui oleh warga Palembang dan pengunjung Pulau Kemaro. Sebagian warga menganggap bahwa Klenteng Hok Cheng Bio telah didirikan sejak Tan Bun An dan Siti Fatimah tenggelam di Sungai Musi, simbol pengingat bahwa Pulau Kemaro terbentuk sebagai monumen cinta mereka berdua. Kenyataannya, Klenteng Hok Cheng Bio didirikan semata-mata dengan motif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Budha Palembang dalam menjalankan ibadah, mengingat hingga kini cukup banyak warga beretnis Tionghoa yang bermukim di sepanjang Sungai Musi. Bagian lain yang mengejutkan adalah, di dalam kompleks Klenteng Hok Cing Bio terdapat dua buah makam yang dipercaya sebagai makam Tan Bun An dan Siti Fatimah. Hal tersebut tentu secara eksplisit menyatakan bahwa mereka mungkin memang pernah hidup di masa lampau, namun Pulau Kemaro pun sebenarnya telah ada sebelum mereka meninggal.
Terlepas dari segala hiruk-pikuk garis sejarah yang sebagian jelas pembuktiannya dan sebagian lainnya tidak jelas, kenyataan yang perlu sama-sama diterima semua orang adalah bahwa Pulau Kemaro hingga kini tetap ramai dikunjungi warga Palembang di tiap perayaan Cap Go Meh. Tahun ini pun, puncak peringatan Cap Go Meh akan berlangsung pada 3 Maret 2018 mendatang. Tiap tahunnya peringatan Cap Go Meh di Pulau Kemaro terbukti mampu menampung ratusan umat Tridharma yang beribadah, juga mendatangkan banyak turis domestik dan mancanegara.