Salah satu teori para arkeolog tentang letak pusat Kerajaan Sriwijaya mengarah pada kota Palembang. Sebagai kota tertua di Indonesia, semua orang sudah mafhum jika Kota Pempek ini dikaitkan erat dengan keberadaan Kerajaan Sriwijaya di masa lampau. Meski pun demikian, Kerajaan Sriwijaya bukanlah satu-satunya sumber kekayaan khazanah budaya di Sumatera Selatan.
Bergerak sedikit ke bagian barat Sumatera Selatan, terdapat beberapa wilayah yang budayanya sangat terpengaruh oleh kebudayaan melayu dan minang. Sebut saja, Kabupaten Musi Rawas, Musi Rawas Utara (Muratara) dan Lubuk Linggau. Bukti dari kebudayaan melayu tersebut diindikasikan dengan adanya berbagai kisah dan hikayat tentang tokoh-tokoh masyarakat lokal yang hidup pada masa lalu. Salah satu kisah yang paling populer adalah kisah Bujang Kurap, seorang laki-laki sakti mandraguna yang konon dulu pernah hidup dan berkelana di Bumi Silampari tersebut.
Asal-usul Bujang Kurap
Sebagian masyarakat Sumsel yang pernah mendengar kisah Bujang Kurap biasanya menganggap bahwa kisah tersebuh hanyalah legenda atau cerita rakyat. Meski demikian, tidak sedikit pula yang yakin bahwa Bujang Kurap pernah benar-benar ada dan hidup mengembara di wilayah Musi Rawas dan sekitarnya. Keyakinan tentang hal tersebut didukung dengan adanya beberapa peninggalan sejarah, baik yang berupa fisik maupun non-fisik.
Konon, Bujang Kurap masih termasuk dalam garis keturunan Datuk Saribijaya dan Putri Sari Banilai. Datuk Saribijaya adalah salah seorang depati dari Kerajaan Pagarruyung, sementara Putri Sari Banilai adalah putri dari Kerajaan Melayu Bangko. Keduanya merupakan cikal-bakal dari lahirnya suku anak dalam yang hidup nomaden hingga saat ini. Singkat cerita, salah satu dari keturunan mereka kelak dikaruniai seorang anak lelaki yang dinamai Bujang Kurap tersebut.
Terdapat berbagai versi cerita yang berkembang tentang Bujang Kurap. Satu versi meyakini bahwa Bujang Kurap sebenarnya adalah seorang pemuda tampan yang memiliki kesaktian dan dapat menyamarkan wujudnya menjadi seorang pemuda buruk rupa—yang kemudian menjadi asal sebutannya, sementara versi lainnya mengisahkan bahwa Bujang Kurap sudah memiliki penyakit kulitnya sejak ia lahir. Namun versi mana pun yang benar, terdapat beberapa hal yang disepakati bersama : Bujang Kurap adalah lelaki yang berbudi luhur dan hidup mengembara di wilayah sepanjang Sungai Rawas, mulai dari Kota Tanjung hingga Muara Rawas.
Sepanjang hidupnya yang nomaden, Bujang Kurap singgah di berbagai kampung di sepanjang Sungai Rawas, mulai dari Napal Licin, Muara Kulam, Muara Kuis, Pulau Kidak dan Dusun Pauh. Ia kerap membantu penduduk desa dengan kesaktiannya, baik dalam mengurus pertanian, pembangunan rumah hingga ke perkara yang tidak biasa seperti menumpas penyamun.
Bujang Kurap dan Danau Rayo
Salah satu kisah pengembaraan Bujang Kurap yang paling dikenal masyarakat Muratara adalah saat Bujang Kurap singgah di sebuah desa bernama Pagar Remayu (sekarang Karang Panggung). Alkisah pada saat Bujang Kurap bertandang ke Pagar Remayu, rakyat desa tersebut tengah menggelar pesta tujuh hari tujuh malam untuk merayakan pernikahan salah seorang putri penguasa mereka.
Bujang Kurap yang memasuki perayaan tersebut mendapat sambutan yang tidak menyenangkan dari penduduk dan penguasa desa tersebut. Mereka merasa jijik pada Bujang Kurap yang berpenyakit kulit dan beranggapan bahwa ia tak pantas berada di tengah pesta tersebut, sehingga Bujang Kurap pun diusir dengan kasar.
Bujang Kurap pun pergi dari pesta perayaan tersebut, lalu singgah di sebuah rumah di pinggir desa. Rumah tersebut dihuni oleh seorang nenek sebatang kara yang menyambut Bujang Kurap dengan ramah. Nenek tersebut mengizinkannya berteduh dan menginap di rumahnya. Merasa berterima kasih, Bujang Kurap akhirnya meminjam pisau milik Sang Nenek, lalu menggunakannya untuk merangkai aur gading menjadi sebuah rakit. Rakit tersebut diikatkannya di tiang rumah Sang Nenek. Bujang Kurap mengucapkan terima kasih, lalu pamit. Ia ternyata berjalan kembali menuju tempat diadakannya pesta perayaan tersebut.
Melihat Bujang Kurap kembali menghampiri tempat pesta, penduduk desa pun bersiap untuk mengusirnya lagi. Ternyata kali ini, Bujang Kurap mengajukan sebuah tantangan kepada semua yang hadir di pesta tersebut. Ia menancapkan tujuh batang lidi di atas tanah, lalu berujar jika ada siapa pun di antara penduduk desa yang bisa mencabut batang-batang lidi tersebut, maka Bujang Kurap akan pergi meninggalkan desa itu dengan sukarela. Mendengar tantangan tersebut, semua orang pun mencemoohnya. Semua laki-laki yang hadir di pesta tersebut, termasuk petinggi desa, turun tangan untuk menjawab tantangan Bujang Kurap.
Namun anehnya, tak ada satu orang pun yang sanggup mencabut tujuh batang lidi tersebut. Semua orang kewalahan dan bingung. Setelah tak ada lagi yang mau mencobanya, maka Bujang Kurap pun turun tangan. Ia membaca sebuah mantra, lalu dengan kesaktiannya, ia mampu mencabut lidi-lidi tersebut dengan mudah sebagaimana ia menancapkannya sebelum itu. Namun saat tujuh lidi tersebut dicabut, mata air yang deras muncul ke permukaan tanah. Air membanjiri desa tanpa henti,.menenggelamkan penduduk dan segala harta benda mereka, mengubah Desa Pagar Remayu menjadi sebuah danau. Hanya Sang Nenek satu-satunya penduduk desa yang selamat dengan menumpang rakit yang dibuatkan oleh Bujang Kurap, sementara Bujang Kurap sendiri telah raib entah kemana sebelum desa tersebut tenggelam. Wilayah di sekitar Desa Pagar Remayu tersebut kemudian dinamai Karang Panggung (panggung yang karam), sementara danau yang muncul tersebut dinamai Danau Rayo (Danau Besar).
Akhir Perjalanan Bujang Kurap
Bujang Kurap akhirnya berhenti mengembara setelah ia tiba di Desa Ulak Lebar di kaki Bukit Sulap, yang sekarang berada di Kota Lubuk Linggau. Desa Ulak Lebar adalah satu-satunya desa rantauan Bujang Kurap dimana penduduknya menahan dia dari melanjutkan perjalanan. Bujang Kurap pun menghabiskan waktu hidupnya disana hingga akhir hayat, mengajarkan silat dan kuntau bagi penduduk asli dan orang-orang datangan. Bukti fisik keberadaannya di Ulak Lebar berupa empat buah kuburan dan menhir yang ada di kaki Bukit Sulap, dimana tiga kuburan selain milik Bujang Kurap dipercaya sebagai milik pengikut Bujang Kurap semasa hidupnya. Hingga kini masih ada sebagian kecil orang yang menziarahi kuburan tersebut demi meminta petunjuk dan kemudahan dalam berbagai urusan.
Semua warga Lubuk Linggau dan Musi Rawas tentu pernah mendengar nama Bujang Kurap, namun tak banyak orang yang memahami ceritanya dari sudut pandang yang tepat. Sebagian orang beranggapan bahwa Bujang Kurap mendapatkan namanya semata-mata karena reputasinya sebagai orang berpenyakit kulit. Padahal terlepas dari penampilan fisiknya, ia dikisahkan sebagai pemuda berbudi luhur dan ringan tangan dalam menolong siapa pun. Miskonsepsi tersebut menghanyutkan banyak orang, membuat nama Bujang Kurap menjadi sebuah alat bagi mereka untuk mencemooh orang lain atau bercanda. Padahal sebagai bagian dari masyarakat yang ‘katanya’beradat dan beradab, sudah seharusnya kebiasaan tersebut diakhiri, atau sekurang-kurangnya diantisipasi dengan mempelajari kebudayaan dan sejarah dengan benar. Pesan moral terbesar dari kisah Bujang Kurap sendiri justru berasal dari nama kisah tersebut, yang mengisahkan bahwa tampilan fisik seorang manusia tak selalu menggambarkan hati dan budi pekertinya.
(Sumber : linggaupos.co.id; cerpen “Bujang Kurap” karya Benny Arnas, diterbitkan di cerpenkompas.wordpress.co.id pada 26 Juli 2009)