Puisi, sebagaimana karya sastra lainnya, memiliki peran yang unik dalam mewarnai sejarah Indonesia. Nama-nama kondang seperti Chairil Anwar, Widji Thukul dan Soe Hok Gie hanyalah beberapa dari semua nama penulis puisi yang produktif, sekaligus pejuang keadilan dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Hingga kini pun definisi puisi selalu dikaitkan dengan kemampuan berekspresi dan menyuarakan kritik secara anggun, namun lugas. Puisi dapat digolongkan sebagai jenis karya sastra favorit di hati masyarakat Indonesia, terutama generasi milenial. Hal tersebut seolah diwakilkan melalui kehadiran komunitas pegiat puisi di Palembang yang bernama Malam Puisi Palembang.
Kilas Balik Malam Puisi
Label Malam Puisi sebenarnya pertama kali digunakan di Bali pada tahun 2013 silam. Sekelompok masyarakat—khususnya anak muda—yang memiliki minat atau bakat berpuisi biasa berkumpul sepekan sekali di tempat umum yang terbuka untuk bergantian membacakan puisi. Puisi yang dibacanakan bisa saja puisi gubahan mereka sendiri atau puisi karya sastrawan terkenal. Sesekali pembacaan puisi diiringi musik latar, lalu ditutup dengan tepuk tangan semua orang yang hadir di tempat tersebut.
Gerakan malam puisi kemudian menjadi populer, lalu diadopsi dan dikembangkan oleh pencinta puisi di wilayah-wilayah lain di Indonesia, termasuk Palembang. Tepatnya sejak 29 September 2013, Malam Puisi Palembang mulai aktif membacakan dan memperdengarkan puisi hampir tiap sebulan sekali, dengan tema umum yang berbeda setiap bulannya. Dengan para punggawanya yang kerap disebut ‘penggerak’, Malam Puisi Palembang dapat aktif dan terus berkegiatan, bahkan berintegrasi dengan komunitas-komunitas literasi dan sosial lainnya yang ada di Palembang.
Adalah Arco, pemuda asal Palembang yang menggagas dibentuknya Malam Puisi Palembang. Pemuda bernama lengkap Harko Transept tersebut memang sudah terkenal malang-melintang menggiati puisi dan produk-produk turunannya, salah satunya buku kumpulan puisi ‘Protokol Hujan’. Pada masa awal berdirinya malam puisi, Arco dan tim ‘penggerak’ aktif mengembangkan sayap komunitas kesayangan mereka. Selain menggelar pembacaan puisi dan musikalisasi puisi, mereka turut pula hadir dalam berbagai kegiatan komunitas di Palembang dan menebarkan ‘aroma puisi’ di tempat-tempat yang mereka sambangi.
Sempat Vakum
Namun sebagaimana beberapa gerakan malam puisi di kota lain, Malam Puisi Palembang kini tidak lagi seaktif pada masanya. Malpus Palembang—begitu namanya biasa disingkat—sempat berhenti membacakan dan memperdengarkan puisi sejak Agustus 2017. Hal tersebut dikarenakan para penggerak yang mau tak mau juga tumbuh dewasa bersama komunitas yang mereka besarkan, sehingga kesibukan yang berbeda-beda pun turut meliputi mereka. Sebagian pencinta puisi di Malpus Palembang bahkan sudah mulai berkeluarga.
Kekosongan satu tahun tersebut hendak dibayar lunas oleh Malpus Palembang pada Sabtu (22/09) malam lalu. Melalui semangat berpuisi yang masih dimiliki, kerinduan para penggerak untuk kembali berpuisi serta dukungan komunitas-komunitas yang ada di Palembang, Malpus Palembang sukses menggelar “Nonton Bareng Film Dongju : The Portrait of a Poet” di DeBurry Cafe, Museum SMB II, Palembang. Selain Malpus Palembang, kegiatan tersebut juga digelar bersama oleh Palembang Movie Club (PMC), Baur Kata, Sobat Literasi Jalanan dan Bucu Buku. Film Dongju : the Portrait of a Poet dipilih Malpus Palembang dalam mewakili epic comeback mereka, karena selain mempertontonkan kehidupan seorang sastrawan Korea Selatan yang hidup di masa perang, juga dinilai dapat mewakili semangat berpuisi rekan-rekan Malpus dan partisipan lainnya yang hadir dalam nobar tersebut. Selain nobar, Malpus Palembang juga kembali menggelar pembacaan puisi yang terbuka bagi semua hadirin.
Seri Andesi, salah satu peserta yang membacakan puisi menyambut positif kegiatan yang digelar Malam Puisi. “Rasanya senang sekali dapat turut berperan dalam kegiatan Malam Puisi. Selain bisa mengekspresikan nilai seni, saya juga dapat menambah pengalaman dan teman baru, bisa paham apa fungsi puisi”, tukas Seri yang turut membacakan puisi “The Type” karya Sarah Kay.
Hardi Saputra, salah satu pegiat literasi di Palembang yang turut membacakan puisi pada malam itu mengapresiasi kegiatan yang digelar Malpus Palembang. Lelaki yang berteman dengan Arko tersebut berujar bahwa vakumnya Malpus Palembang bukan dikarenakan kesibukan masing-masing penggeraknya, namun karena Malpus Palembang tengah berada di masa transisi dan regenerasi kepengurusan.
Puisi termasuk warisan yang akan menceritakan budaya dan zaman kita saat ini untuk masa depan. Menggandeng dan merangkul orang-orang yang selama ini malu untuk mengekspresikan dirinya melalui puisi merupakan salah satu misi Malpus Palembang.
Malam Puisi Palembang kini dapat diikuti sepak-terjangnya di Instagram @malampuisi_PLG atau bisa kunjungi ke malampuisipalembang.wordpress.com