CERBUNG : Anak Harimau (3/3)

Aku tidak lagi memimpikan hal yang aneh tentang harimau. Tapi sebagai gantinya, perasaan yang asing berdesir menyelimutiku setiap kali kuingat jejak kaki di hutan. Aku

Sunny H

Aku tidak lagi memimpikan hal yang aneh tentang harimau. Tapi sebagai gantinya, perasaan yang asing berdesir menyelimutiku setiap kali kuingat jejak kaki di hutan. Aku seolah terpanggil oleh sesuatu yang menunggu di ujung jejak kaki tersebut. Mungkin perkataan Seruni ada benarnya. Bagaimana jika harimaulah yang merusak perangkap ikan Ayah? Dan tidak semua harimau suka merusak perangkap ikan, yang berarti, harimau tersebut terpaksa melakukannya. Mungkinkah karena ia kelaparan?

Sepulang sekolah, aku membujuk Seruni untuk minggat dari tugasnya membantu ibu membuat kerajinan nipah. Aku mengajaknya ke hutan tempat kemarin kutemukan jejak kaki tersebut, dalam modus pencarian kayu bakar. Seruni tidak mau. Sudah tentu tak semudah itu, pikirku, dan untuk itulah aku mengantongi permen kojek. Matanya berbinar, namun mulutnya tetap bersikukuh berkata tidak. Aku tambahkan satu lagi permen kojek, lalu runtuhlah pendiriannya. Hari itu aku mempraktikkan suap—yang ironisnya—tanpa rasa bersalah sedikit pun. Hei, lagipula ini kan bukan untuk kepentinganku sendiri, batinku membela diri.

Kami beranjak meninggalkan rumah pukul dua siang, selepas sholat zuhur dan makan. Aku dan Seruni sudah memikul keranjang kayu bakar di pundak kami, pamit pada Kakek dan Ibu sebelum masuk ke dalam hutan.

Sepanjang perjalanan, aku utarakan tujuanku yang sebenarnya. Seruni hanya manggut-manggut sambil mengulum permen kojek. Dia tentu tak terlalu peduli kemana kami pergi selagi ia masih punya permen kojek. Kami menyusuri jalan setapak di antara kebun karet milik warga, sesekali melompati beberapa tunggul dan kayu yang roboh merintangi jalan. Kami terus berjalan hingga pemandangan kebun karet berganti menjadi hutan rimba. Beberapa lutung meloncati dahan-dahan pohon jambu. Tonggeret, kumbang dan burung-burung hutan bersahut-sahutan dari balik pepohonan. Tak terlalu jauh berjalan dari tengah hutan, semua suara tersebut menghilang, seolah larut bersama gemericik air sungai. Aku hampir melompat ke dalam aliran sungai yang setinggi lututku, jika Seruni tidak mencengkeram tanganku dan menahan pekik dengan wajah pias. Aku tak paham apa maksud tingkahnya, sebelum aku melihat apa yang Seruni lihat di seberang sungai.

Makhluk itu tengah membungkuk di tepi sungai, hanya beberapa meter dari tempat kami berdiri. Lidahnya terjulur beberapa kali demi mencidukkan air sungai yang segar ke dalam mulutnya, melalui bibirnya yang hitam. Ia sangat dekat, sangat jelas. Aku bahkan bisa menghitung loreng-loreng di wajahnya. Seruni menjatuhkan permen kojek dari mulutnya, yang kemudian jatuh berkecipak ke dalam air sungai. Aku kaget. Begitu pula harimau tersebut. Ia mendongakkan kepalanya ke arah kami, menatap kami dengan kalem. Hanya kami yang diam terpana di tempat kami berdiri, tak mampu melakukan apa-apa. Sejurus kemudian, dengan penuh karisma, mahluk itu berbalik dan menghilang ke dalam hutan.

Pada saat itulah perasaan berdesir tersebut hadir kembali. Harimau itu seolah memanggil kami, seperti seorang tuan rumah yang mengajak tamunya masuk ke ruang tamu. Bedanya, yang ia sibakkan bukan tirai melainkan rumpun semak belukar dan ilalang. Setelah selesai dengan semua keterkejutan dan kecemasan, rasa berani yang tak kuketahui sumbernya tiba-tiba mengaliri tubuhku. Aku merangkul tangan Seruni dan menariknya turun ke sungai.

“Kita mau kemana, kak?”, tanya Seruni, setengah cemas setengah penasaran. Lebih banyak penasarannya.

“Ini alasan kita kemari, Seruni. Harimau itu sudah lama menunggu. Dia memanggil kita”, jawabku sambil menyeka keringat di pelipis. ‘Memanggil kita’? Bagaimana aku bisa begitu yakin? Entahlah. Hal lain yang tak kupahami adalah kakiku tak mau berhenti melangkah. Syukurnya, meski Seruni adalah adik yang penurut, dia tidak penakut. Aku yakin rasa penasarannya tentang Harimau Sumatera juga mendorongnya untuk percaya padaku.

Kami menyeberangi sungai yang tengah surut tersebut bersama, masih bergandengan tangan. Jalan yang dilewati harimau tadi cukup sempit dan tidak biasa dilewati manusia. Kami melepaskan keranjang kayu bakar kami dan meninggalkannya di pinggir sungai, lalu masuk menembus belukar.

Tanah di hulu sungai sama sekali berbeda dengan jalan yang sudah kami lewati sejauh ini. Tidak ada jalan setapak. Setiap tanah yang kami pijak ditumbuhi lumut dan rerumputan, yang menurutku baru tumbuh lebat setelah hujan beberapa hari lalu. Satu-satunya penunjuk arah yang kami miliki hanyalah rerumputan yang tampak agak layu, bekas pijakan harimau tadi. Semakin jauh kami mengikuti jejak tersebut, semakin banyak dahan pohon yang bergelimpangan dan tunggul yang harus kami langkahi. Dekut burung dan derik serangga pun terdengar lebih asing dari sebelumnya. Seruni berjalan sangat dekat denganku sampai-sampai aku bisa merasakan napasnya di tengkukku. Kasihan, dia pasti takut.

“Kak, masih jauh ya?”, tanyanya seraya melihat berkeliling. Aku mengiyakan dengan lemah. Aku sendiri belum pernah main sampai sejauh ini. Tapi kami sudah sangat jauh dari sungai. Bukankah semuanya akan sia-sia jika kami berputar arah sekarang? Kakiku lagi-lagi tak bisa diajak berkompromi. Aku putuskan untuk terus berjalan, sambil menggandeng Seruni dengan erat.

Tanah yang kami lewati semakin menanjak. Aku menyuruh Seruni berjalan lebih dulu, sementara aku berjaga di belakangnya, bersiap-siap menahannya jika ia terpeleset. Seruni ternyata masih punya cukup tenaga untuk naik dengan lincah. Justru akulah yang kepayahan.

“Kak, masih jauh ya?”, tanya Seruni lagi. Aku berdesis menyuruhnya diam, sedikit sebal. Jejak harimau agak memudar setelah jalan menanjak tadi.

Tapi kami tak perlu susah-susah mencari jejak lagi. Harimau yang kami cari kini tengah berdiri mengawasi kami dari balik batang-batang bambu kuning di depan kami. Kepalanya tegak, namun tatapan matanya tidak memancarkan ancaman. Aku diam sejenak, berhitung dengan keadaan. Sekarang apa? Dan sebelum aku mampu menjawabnya sendiri, harimau tersebut kembali membalikkan badan dan berjalan menjauh. Aku dan Seruni seolah sudah mafhum dengan bahasa tubuh tersebut, langsung saja mengikutinya berjalan melalui batang-batang bambu.

“Awasi kakimu. Tajam, tuh”, kataku pada Seruni, seraya menunjuk beberapa tunas rebung yang tumbuh mencuat di permukaan tanah. Seruni mengikuti langkahku dengan persis hingga kami melewati semua rumpun bambu. Tak lama setelahnya, mata kami silau oleh cahaya matahari. Hutan yang kami lewati seolah putus disitu, bergantikan latar dataran yang lebih lapang dan terbuka.

Apa yang mata kami temukan di balik hutan tersebut adalah hal lain yang juga membuat kami terkejut.

Sejauh mata memandang, hal yang bisa kami lihat hanyalah perbukitan gundul berwarna kelabu. Tidak ada satu pohon pun yang tumbuh—atau yang masih tumbuh, lebih tepatnya. Tapi setidaknya kami sadar bahwa sebelumnya tempat itu adalah hutan yang lebat, tampak dari batangan-batangan arang hitam sebesar pinggang orang dewasa yang seolah tumbuh meruncing dari dalam perut bumi. Tadinya arang tersebut mungkin pohon jati, atau pohon waru, atau pohon cemara hutan atau pohon kenanga, lalu untuk sebab yang tidak kuketahui, semuanya hangus, bersamaan dengan semua tanaman hijau yang tumbuh mengelilinginya. Tanah yang tadinya diselimuti rumput dan ilalang kini dilapisi abu. Matahari musim kemarau menerpa perbukitan kering tersebut dan memantul pada abu putih yang menyelimuti tanah, menyilaukan mata kami.

“Apa ini?”, tanyaku, entah pada siapa. Seruni menatap tanpa berkata apa-apa. Tapi kejutannya bukan hanya itu.

Harimau terus berjalan mendaki salah satu bukit yang hangus, lalu menghilang di baliknya. Langkah-langkahnya menerbangkan abu ke udara. Kami mengikutinya.

Tepat di bawah kolong sebuah pohon yang roboh, harimau berhenti berjalan. Aku belum cukup dekat untuk mengetahui apa yang ia lakukan, tapi harimau itu tampak sedang mengendus sesuatu. Aku dan Seruni tak berani berada terlalu dekat, sehingga kami mengamati gerak-geriknya dari balik sebilah kayu yang gosong, tak jauh dari tempat harimau tersebut berada. Setelah beberapa menit hanya mengendus dan mengibas-ngibaskan ekor, harimau tersebut akhirnya berjalan mengitari objek yang ia endus. Aku dan Seruni terperanjat.

Benda itu tampak seperti balok besi. Aku memicingkan mata, kemudian kusadari bahwa itu adalah sebuah kandang. Hal lain yang menarik adalah, ada sesuatu di dalam kandang tersebut. Sesuatu yang hidup, bergerak. Dan sesuatu yang hidup itu tengah memberontak dengan putus asa.

“Itu anaknya, kak”, bisik Seruni. Aku terkesiap. Itu benar. Makhluk itu bersuara seperti kucing garong di musim kawin. Harimau yang kami ikuti adalah seekor induk, dan anaknya tengah terperangkap di dalam kandang itu. Sang Induk sesekali mengendus kandang tersebut, untuk sejenak kemudian hanya bisa duduk dan menatapinya dengan iba. Ia tak bisa bernegosiasi dengan kandang yang tak bisa bicara itu agar bersedia melepaskan anaknya.

Sekarang sudah jelas apa yang perlu kami lakukan. Tapi jika kami mendekati kandang tersebut, reaksi macam apa yang akan diberikan Sang Induk Harimau? Aku tak berani membayangkannya. Dia bisa saja salah sangka lalu malah menerkam aku atau menerkam Seruni atau yang terburuk, menerkam kami berdua.

“Kak, ayo sini!”, teriak Seruni yang sekarang malah sedang berdiri di sebelah kandang tersebut. APA?

“Seruni, kau sudah gila, ya?”, pekikku histeris seraya menghampirinya.

“Kasihan harimaunya, Kak”, gibah Seruni. Dari jarak yang lebih dekat, aku menyaksikan pemandangan yang mengiris hati. Berbeda dengan induknya yang sehat dan bersih, anak harimau yang terperangkap di dalam kandang tersebut tampak memprihatinkan. Tubuhnya kurus, bulunya kusam bertabur abu. Ia persis anak kucing yang sering dibuang orang tak bertanggung jawab di pinggir pasar, lengkap dengan suara ngeongan yang merana, hanya saja ukurannya sedikit lebih besar dari kucing pasar. Kandang yang mengurungnya berbentuk balok panjang, dengan jalinan kawat baja yang rapat di sisi-sisinya, lalu jeruji yang agak renggang di bagian depan dan belakangnya. Kandang itu berukuran tak jauh lebih besar dari lima kali ukuran tubuhnya. Sesekali harimau itu berdiri di atas keempat kakinya yang bergetar, berputar-putar gelisah dalam kandang yang penuh tanah, abu, dedaunan dan kotorannya sendiri. Astaga, makhluk keji apa yang tega menempatkan anak harimau tersebut di dalam sini?

Di sekitar perangkap kulihat beberapa sirip dan sisa kepala ikan yang mengering.Ternyata memang Si Induk Harimau yang merusak perangkap ikan Ayah, dan ia melakukannya untuk memberi makan anaknya yang terperangkap.

Sementara kami mengamati dengan seksama, Sang Induk hanya duduk tak jauh di depan kami dan menatap kami dengan jinak, seolah meminta kami melakukan sesuatu dengan kandang tersebut. Aku tak lagi gelisah terhadap Sang Induk, tetapi pada anaknya yang kini mengaum nelangsa di dalam perangkap.

“Kandangnya keras kak”, Seruni memecah hening. Ia meraba-raba sisi kandang yang rapat ditutupi kawat baja. Tampak beberapa bekas penyok dan tergores, seperti sisa gigitan dan benturan. Nampaknya Sang Induk telah berusaha melubangi perangkap dengan caranya sendiri, namun kurang berhasil. Aku mengitari kandang tersebut sambil diawasi Sang Induk. Saat itu juga aku tak terlalu peduli lagi jika seandainya Sang Induk tiba-tiba mendekat dan menyergapku, asal aku menemukan cara untuk membuka perangkap tersebut saat itu juga.

Aha!

Aku berhenti di salah satu sisi kandang dan menemukan celah. Perangkap tersebut memang lebih rumit dari lapon yang biasa dipasang warga di dalam kebun ubi. Namun syukurnya, kandang tersebut hanya dirancang untuk mengurung, bukan membunuh—kalau pun iya, setidaknya bukan dalam waktu yang singkat. Salah satu sisi kandang itu adalah pintu keluarnya. Yang perlu kulakukan hanyalah menarik sebuah pengait yang mengunci pintu tersebut dan mengangkat pintu itu ke atas. Aku butuh sedikit waktu dan upaya, karena pengait tersebut agak macet. Seruni kemudian membantuku mengangkat pintu tersebut hingga menjeblak ke atas.

Ceklak!

Kandang itu pun akhirnya terbuka lebar. Si Anak Harimau awalnya ragu-ragu, tapi setelah aku dan Seruni mundur beberapa langkah, ia langsung menghambur keluar menuju induknya. Itu pemandangan paling mengharukan yang pernah kulihat sepanjang hidupku yang baru sepuluh tahun. Aku bahagia sekali, belum pernah sebahagia itu. Seruni tersenyum, disusul bibirnya yang mewek, lalu gosokan punggung tangan ke matanya yang seketika banjir. Sementara Sang Induk tak henti menjilati anaknya dengan penuh kasih, aku merangkul bahu Seruni dan diam-diam menariknya pergi. Langit sudah jingga. Waktunya pulang ke rumah.


Petang itu kami dihabisi oleh amukan Ibu. Disetrap, dijewer, dicubit, digaplok dengan centong nasi. Tak sudah-sudah Ibu berteriak di depan wajah kami, menghamburkan air ludah ke jidat kami. Kesalahan pertamaku—versi Ibu—adalah aku berbohong soal mencari kayu bakar. Walau mencari kayu bakar memang hanya modusku untuk bisa melihat harimau, aku dan Seruni sejatinya benar-benar membawa kayu bakar saat pulang, dalihku. Ibu tidak mau terima. Aku juga tidak mau terima. Kami muntab. Tak ada kesepakatan soal kesalahan pertama ini. Adapun kesalahan keduaku adalah mengajak Seruni masuk ke hutan di seberang sungai, yang secara tak langsung sama saja maknanya dengan mengajak adikku mencari balak bersama. Soal kesalahan kedua ini, aku hanya diam, dan berakhir dengan telingaku yang kembali ditarik lalu dipelintir 45 derajat. Mulut Seruni terkunci. Aku tak menyalahkannya. Jika Ibu sudah marah, bicara atau diamnya Seruni tidak ada bedanya lagi bagi Ibu. Kesalahan ketigaku—yang menurutku paling tidak masuk akal—adalah aku lebih memilih masuk ke hutan dan menolong harimau alih-alih memberi tahu orang-orang di kampung. Lantas setelah diberi tahu, memangnya apa yang akan dilakukan warga kampung ini? Menombak harimau tersebut agar tidak masuk ke pemukiman kami? Tapi aku sudah pasrah, tak ada gunanya membantah Ibu. Toh, Sang Induk Harimau dan anak semata wayangnya kini sudah bebas pergi kemana pun. Semoga mereka tidak berbalik menuju kampung kami, tapi mencari hutan lain yang masih asri untuk ditinggali bersama.

Ayah masuk ke ruang makan tempat kami dimarahi. Ia baru saja usai menyuruh kepala desa dan pemuda-pemuda kampung untuk pulang, karena anaknya yang tadi hilang ternyata hanya main terlalu jauh ke dalam hutan, bukannya diterkam buaya penghuni lubuk.

“Sudahlah, Bu. Kan mereka sudah pulang, sudah menyesal pula”, kata Ayah melerai, tapi suaranya terdengar setengah bercanda. Ibu malah makin kesal.

Puncak hukuman kami malam itu adalah kami tidak boleh makan malam. Itu hukuman standar untukku dan Seruni jika kenakalan kami sudah melewati batas. Walhasil, malam itu aku dan Seruni hanya berdiri di pojok dapur sambil ileran ketika Ayah, Ibu dan Kakek makan pindang baung bersama. Tidak ada belas kasihan bagi anak nakal.

“Mau satu? Nanti Ayah sisakan, ya?”, olok Ayah, yang aku tahu dia hanya berkelakar. Kesal betul aku mendengarnya.

Meski lapar karena tidak makan, tapi aku dan Seruni malam itu bisa tidur nyenyak, dan syukurnya, di atas kasur.

“Kak, menurut Kakak harimau kecil itu dan ibunya sekarang sedang apa?”, tanya Seruni dari kasur seberang.

“Entah. Makan, mungkin. Dari perangkap ikan yang Ayah pasang”, guyonku. Seruni cekikikan.

Seperti setiap malam sebelum jatuh terlelap, memoriku menjadi tajam tanpa kuinginkan. Aku sekonyong-konyong teringat pada lembar-lembar ensiklopedia yang kubaca di perpustakaan sekolah.

Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) adalah hewan soliter (solar liter?). Mereka hidup menyendiri di alam bebas, terutama di hutan rimba di seluruh Sumatera. Induk harimau biasanya dapat melahirkan dua hingga enam ekor anak harimau, dengan masa mengandung paling lama 103 hari. Anak harimau pertama kali membuka mata di usia 10 hari, pertama kali meninggalkan sarang di usia dua minggu, mulai belajar berburu di usia enam bulan, dan aktif mencari makan sendiri di usia 18 bulan.

Dua hingga enam ekor? Sementara yang kami temukan hanyalah satu ekor anak harimau, dan itu pun terjebak dalam kurungan. Aku ingin tahu, begitu ingin tahu, dimana anak-anak lain dari Si Induk Harimau. Apakah mereka baik-baik saja?

Kupikir aku tidak akan tidur karena memikirkan semua itu, tapi salah. Kenyataannya, aku justru memikirkan hal-hal tersebut sambil tertidur. Aku tidak lagi berbaring terlentang di atas kasur kamarku, tapi di atas sebuah padang rumput yang harum dan luas. Tembok papan kamarku dan Seruni terdorong menjauh, berganti dengan latar pemandangan hijau dan biru sejauh mata memandang. Aku bangkit dari tidurku lalu memandang berkeliling. Matahari bersinar sangat terang, namun sejuk. Sayup-sayup kudengar sesuatu berjalan di atas rumput di depanku.

Oh, Si Induk Harimau rupanya. Ia menghampiriku pelan-pelan. Di belakangnya, tiga ekor anak harimau yang gemuk-gemuk berjalan mengikuti induknya dengan latah. Beberapa berlari-lari kecil menggemaskan.

Lama aku dan Si Induk Harimau hanya bersitatap tanpa membahas apa pun. Lalu tanpa kutahu sejak kapan, sebuah mangkuk porselen telah muncul di antara kami berdua. Si Induk Harimau mendorongnya ke dekatku dengan ujung hidungnya. Mangkuk porselen itu meluncur halus di atas rumput yang rapinya seperti lapangan sepakbola stadion olahraga. Aroma harum-asam-pedas menguar dari isi mangkuk tersebut, menyambar hidungku.

“Ini aku kembalikan”, bisik Si Induk Harimau tanpa membuka mulut.

Pindang baung masakan Ibu! Lalu tanpa menawarkan pada Si Induk Harimau dan anak-anaknya terlebih dahulu, aku langsung menenggaknya sekaligus ke dalam mulutku. Aneh, tidak terasa panas. Dan entah pada detik keberapa, tiba-tiba pindang lezat itu seketika sudah berpindah semua ke dalam perutku, menyisakan beberapa irisan kemangi dan tulang ikan di dasar mangkuk. Aku menyapu bibir dan daguku dengan punggung tangan. Si Induk Harimau terkekeh, ditingkahi anak-anaknya yang juga ikut cengengesan.

“Terima kasih”, bisiknya.

Nyalang tatapan Sang Induk terangkat dari wajahnya. Semua loreng di tubuhnya memuai bersama udara di sekelilingnya, mengangkasa dalam pusaran cahaya keemasan. Larut bersama semesta.

Aku terbangun. Hujan lebat turun di luar sana. Perutku kenyang dan tubuhku kering, tapi pipiku basah karena tangis.

Tidak. Kami yang seharusnya bilang terima kasih.

Tags

Related Post

Leave a Comment

Ads - Before Footer