Hujan tak kunjung berhenti. Mengapa pula ada hujan lebat di musim kemarau? Sekarang aku dan Seruni yang merana. Demo tidak mau makan masakan Ibu. Baru berhenti saat Kakek ikut memarahi kami, bilang kalau ke Pasar kalangan bisa lain kali dan tidak baik menyia-nyiakan makanan.
Ayah sendiri justru tidak tampak bersalah sama sekali, malah memutar-mutar antena radio untuk menjernihkan frekuensi. Aku sempat berpikir suara bising itu akan berubah menjadi ledakan kecil, namun beberapa saat setelahnya terdengarlah suara berwibawa penyiar berita pagi.
“…Mengimbau penduduk desa untuk berhati-hati ketika berada di hutan atau ladang. Kemunculan harimau di pemukiman warga semakin sering terjadi baru-baru ini.”
Aku menatap piringku yang kosong. Sebuah tanya muncul di benakku. Tanya yang justru keluar dari mulut adikku.
“Ayah, kalau Harimau itu muncul di dekat rumah kita, boleh ya kita pelihara?”
“Tidak boleh, nak. Harimau Sumatera kan hewan dilindungi. Hidupnya bebas di dalam hutan”, jawab Ayah, sembari tersenyum demi mengimbangi kepolosan anaknya.
“Terus kenapa harimaunya muncul di kampung, Yah?”
Maka Ayah memulai ceritanya—yang selalu menarik bagiku. Dimulai dengan sejarah kampung kami. Harimau keramat. Manusia yang hidup dengan alam. Perubahan zaman. Penebangan liar. Pembukaan lahan besar-besaran. Pencemaran lingkungan. Keseimbangan alam yang mulai rusak. Habitat satwa hutan yang semakin sempit. Pergeseran musim. Lalu terakhir, tentang hujan lebat di musim kemarau ini.
“Jadi kalau harimaunya muncul di rumah kita, kita apakan, Yah?” Tanya Seruni lagi.
Ayah tampak berpikir sesaat. “Berharap saja harimaunya tidak mampir ke rumah kita”, lalu tertawa.
Hujan baru berhenti menjelang Ashar, menyisakan jalan setapak yang becek dan aroma basah hutan yang menyenangkan. Katak dan kodok berebut mik dalam orkestra makhluk rawa. Cempaka, perkutut piaraan Ayah berdekut riang dari kandangnya yang tergantung di langit-langit dapur.
Aku sendiri hanya duduk di ruang keluarga, menggambar helikopter dengan pensil sambil mendengarkan radio. Ibu dan Ayah sama-sama sibuk dengan kerajinan tangan mereka masing-masing : Ibu, dengan seragam sekolahku yang robek karena bermain bola. Lalu Ayah, dengan perangkap ikannya yang rombeng disana-sini. Kakek duduk di kursi malasnya, membaca koran minggu kemarin—entah sadar atau tidak itu koran minggu kemarin. Seruni entah dimana sedang apa. Mungkin masih merajuk soal hujan tadi. Biasalah, anak kecil.
Lalu sekonyong-konyong, Seruni menghambur masuk ke ruang keluarga, setengah berlari. Ekspresinya membingungkan, pias bercampur kagum.
“Seruni tadi lihat harimau di halaman belakang!”
Lalu kami terpana di tempat masing-masing. Hanya radio dan nyanyian binatang di kejauhan yang terus berbunyi tanpa hirau. Kami berjalan cepat menyongsong gonggongan Seroja dan Bakung yang kemudian terdengar. Namun yang digonggongi sudah pergi tanpa salam, sama seperti ketika datang, menyisakan semak-belukar di luar pagar yang nampak bergoyang tanpa tiupan angin.
Malamnya aku bermimpi aneh lagi. Kali ini bukan sekedar kepala, tapi benar-benar harimau dewasa utuh, beserta tiga ekor anaknya yang kecil-kecil. Lalu tanah terbelah diantara mereka, bergerak cepat menjauhkan mereka satu sama lain.
Lalu latar berubah. Aku melihat hutan yang rimbun perlahan meranggas habis, menyisakan rumput kuning, tunggul pepohonan dan gelimpangan kayu mati. Di tengah pemandangan menggerahkan itu, tatapanku tertumbuk pada sosok besar yang tergeletak ganjil. Harimau Sumatera yang tadi kulihat. Mati. Perutnya terkoyak. Lalu seketika aku merasakan ngeri, nyilu yang aneh. Perasaan takut yang harusnya tak muncul sebesar ini, meski seandainya yang kulihat adalah kenyataan.
“Tolong kami”
Lalu aku terbangun. Mandi keringat.
Perasaan ngeri dari mimpi tersebut raib tak lama setelah aku bangun. Namun rasa penasaran terus mengabuti pikiranku. Saat jam istirahat sekolah, aku mengunjungi perpustakaan sekolahku. Aku mencari buku ensiklopedia usang yang dulu sekali pernah disumbangkan kakak-kakak KKN baik hati dari Palembang. Ketemu! Aku segera membuka bagian H untuk Harimau.
Barulah aku mengerti mengapa Harimau Sumatera begitu dilindungi. Tiga dari sembilan jenis harimau di dunia terdapat di Indonesia, dan dua diantaranya sudah punah. Hanya Harimau Sumatera yang tersisa, dengan jumlah total tak lebih dari lima ratus ekor.
Aku terhenyak sesaat. Mengenang mimpi-mimpiku belakangan ini. Merasa tersentil sekaligus getir. Kenapa harimau Sumatera itu repot-repot mampir ke mimpiku? Memangnya apa yang bisa kulakukan untuknya, spesies harimau terakhir di Indonesia?
Akhir pekan berikutnya, aku sudah lupa total soal pergi ke pasar kalangan bersama Ayah. Perkara harimau ini sedikit banyak memenuhi kepalaku. Hanya Seruni yang sesekali masih ngotot demo makan—dan selalu berhenti saat mulai kelaparan. Selepas pulang sekolah, Aku langsung bermain ke hutan bersama Inca dan Sigit. Kami berencana menyelam di sungai, mengumpulkan bebatuan untuk diasah menjadi akik. Cincin besar-besar katanya sedang musim. Kami berkejaran sepanjang jalan setapak, sesekali usil menembaki satu sama lain dengan peluru ilalang. Tertawa-tawa. Setibanya di sungai, latar berganti menjadi perang air. Saling piting dan siram. Sungai begitu dangkal sehingga kami bisa melihat dasarnya dengan jelas. Aku kemudian menyeberang ke hulu, menjauhi medan perang tepat sebelum Inca dan Sigit mulai menggila. Kami masih perlu menyusuri tepian sungai hingga ke lubuk yang kami tuju, tempat dimana dasar sungai sedikit lebih dalam. Disanalah bebatuan yang kami cari bisa didapatkan dengan mudah. Belum lima ratus meter berjalan, aku berhenti seketika. Moncong Sigit menancap di punggungku, kepalanya ditabrak bahu Inca. Mereka langsung ricuh, lalu berujung dengan menyalahkanku. Aku hanya diam, lalu menunjuk tanah di depanku yang dari tadi hanya kutatap. Mereka ikut melihat, penasaran. Detik berikutnya, kami hanya diam, seolah dengan kompak mengheningkan cipta bersama. Beberapa bekas tapak kaki tampak samar-samar di atas pasir sungai yang basah. Seperti jejak yang biasa ditinggalkan kucing diatas pasir saat ritual buang hajat, hanya saja ukurannya lebih besar. Beberapa tampak dalam. Masih baru. Aku dan Sigit saling pandang, sementara Inca sudah mundur beberapa langkah, siap-siap mengambil langkah seribu jikalau seekor kucing besar tiba-tiba melompat dari balik pepohonan dan menerkam kami. Tapi tak terjadi apa-apa.
Aku tak menceritakan temuan kami di hulu sungai pada siapa pun. Bahkan tidak pada Seruni. Tidak, setelah setahun lalu ia mengadu pada ibu bahwa aku masih mengompol. Kalau kata Jim Bon, agen rahasia Inggris yang pernah kutonton di teve rumah kepala desa, ini tuh top secret.
Namun dalam usaha menjaga gembok rahasia tersebut, aku menjadi tak bisa tenang dalam segala pekerjaan. Aku melamun di kelas, di kakus, di lapangan sepak bola, di surau saat mengaji, di atas kasur sebelum tidur, juga di depan piring nasi saat makan malam. Ibu membaca gelagat anehku itu, lalu mulai membicarakannya diam-diam dengan Ayah. Walau aku tidak dengar, aku tahu pasti itu soal mengajakku ke pasar kalangan. Tapi aku tak terlalu peduli lagi soal pasar kalangan. Seekor harimau sumatera besar tengah berkeliaran di pinggiran kampung kami dan aku tak tahu apa yang akan terjadi jika warga kampung menangkapnya. Mungkinkah akan dibunuh? Tapi Harimau Sumatera kan hewan dilindungi? Lalu apa penduduk kampung akan melepasnya begitu saja di tempat yang sama? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bertimbulan tanpa henti di kepalaku, seperti ikan gabus yang mengapung mati karena kena setrum.
“Jebakan ikan kita rusak lagi”, kata Ayah, membuka obrolan di meja makan.
“Mungkin terbentur sesuatu saat air pasang? Sekarang kan sering hujan lebat”, ujar Ibu menanggapi, seraya memindahkan nasi dari bakul ke atas piring-piring kami.
“Tapi ini sudah tiga kali dalam dua minggu. Hujan tidak sesering itu”, balas Ayah. Aku mengambil tempe dan tahu goreng sambil mendengarkan Ayah bercerita. “Rusaknya pun aneh. Seperti disengaja. Sengaja dirusak, ya itu!”, timpal Ayah. Aku mulai tertarik.
Akhirnya Ayah berkesimpulan bahwa ada seseorang atau sesuatu yang sengaja merusak perangkap ikan Ayah, dan seseorang atau sesuatu itu melakukannya untuk mengambil udang dan ikan yang terjebak di dalamnya.
“Padahal kalau mau ambil ikannya kan tidak perlu sampai merusak. Kemungkinan yang melakukannya adalah hewan liar”, tutup Ayah. Tapi kami tetap tidak punya ide hewan apa yang gemar merusak perangkap ikan.
Seraya menyuap tempe goreng dan sambal terasi, aku melirik ke meja kecil di belakang Ayah, tempat Ayah mendudukkan perangkap ikannya yang rusak. Rusaknya cukup parah. Perangkap dari bambu tersebut ringsek di bagian samping, seolah ada benda tajam yang menghujam ke dalamnya dan mencungkil bilah bambunya keluar dengan paksa. Aku memikirkan kemungkinan yang agak mustahil.
“Jangan-jangan harimau yang melakukannya?”, celetuk Seruni.
Aku tersedak sambal terasi.