‘Jika ingin mengenal dunia, bacalah buku. Namun jika ingin dikenal oleh dunia, tulislah buku’.
Berpegang pada nasihat tersebut, banyak orang yang awalnya hanya rajin membaca, akhirnya terjun menjadi penulis. ‘Menulis’ kini bukan hanya sekedar kata kerja dalam sebuah kalimat, namun juga aktivitas wajib dan istimewa, bahkan bernilai ekonomi. Namun di atas semua itu, menulis adalah sarana untuk menyalurkan ide dan gagasan yang terkekang dan mendesak untuk disampaikan kepada semua orang.
Nampaknya hal tersebutlah yang mendorong Dahlia Rasyad, seorang wanita berdarah Ogan Ilir untuk dapat menyelesaikan buku pertamanya yang berjudul “Perempuan yang Memetik Mawar”. Baru pada Ahad (12/08) lalu, bertempat di Auditorium Perpustakaan Daerah Sumsel, Dahlia Rasyad bersama Penerbit Terusan Tua menyelenggarakan “Bedah Buku Perempuan yang Memetik Mawar”. Kegiatan ebdah buku tersebut mengundang narasumber-narasumber yang mewakili berbagai elemen kepenulisan, : akademisi sastra yang diwakili oleh kehadiran Dian Sulastri; penulis, yaitu Syamsul Fajri; praktisi jurnalistik yang diwakili Trisman Sadinah (Redaktur Senior Sriwijaya Post); lalu terakhir pos aktris dan pegiat komunitas sastra yang diisi Ken Zuraida, yang tak lain juga merupakan istri dari mendiang sastrawan kondang Indonesia, W.S. Rendra. Para narasumber yang diundang pun menyampaikan berbagai komentar dan opininya seputar novel karya perdana Dahlia Arsyad tersebut. Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh berbagai pegiat komunitas sosial yang ada di Kota Palembang, seperti Sobat Literasi Jalanan dan Roemah Baca Keliling (Roemah Baling).
Karya Dahlia menjadi seru untuk dikocek, karena topik yang ia berusaha angkat lewat tulisannya cukup berat dan vital. Melalui novelnya, Dahlia Rasyad menyoroti sebentuk perlawanan akan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan di sebuah wilayah di Sumatera Selatan. Latar ceritanya yang merupakan sebuah desa asli di Kabupaten Ogan Ilir juga turut menjadi faktor lain yang membuat bukunya menarik untuk disimak.
Selain latar dan topiknya, karya Dahlia juga kaya karena dibumbui dengan buah hasil risetnya selama bertahun-tahun. Ia menghabiskan tak kurang dari tujuh tahun agar dapat mengumpulkan informasi pendukung bagi novelnya. Penelitian panjang tersebut berbuah indah dalam tiap bab yang ia torehkan. Mulai dari keberadaan hukum adat yang selalu terkesan ‘mengorbankan’ kepentingan perempuan, mitos ‘antu banyu’ khas Sumsel, hingga legenda tentang mawar hitam ajaib tak luput ia tuangkan semua ke dalam tulisannya. Dan di atas semua kearifan lokal Sumsel tersebut, ia menyematkan nilai-nilai keberanian dan perjuangan terhadap ketidakadilan yang menjadi bara api dalam cerita yang ia tulis.
Seri Andesi, salah satu peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut mengaku terkesima akan kehadiran Dahlia Rasyad dan karyanya. “Inspiratif sekali. Kak Dahlia adalah hadiah bagi Sumsel, karena cukup jarang ada penulis yang mengangkat etnisitas dan khazanah kebudayaan yang ada di Sumsel”, tutur mahasiswi Fakultas Hukum Unsri satu ini. Ia juga berujar bahwa Dahlia Rasyad juga kembali membangkitkan cita-cita lamanya untuk menjadi penulis.
Lain pula dengan peserta lain bernama Diki. Pegiat Komunitas Roemah Baling satu ini mengapresiasi kegiatan tersebut, karena dinilai dapat mendekatkan penggemar sastra dan pegiat literasi dengan penulis-penulis lokal. “Senang karena bisa lebih dekat dengan pegiat sastra. Tulisan Kak Dahlia lagi ngetop di luar, bahkan pernah menang di Ubud Writer Festival dan mendapat penghargaan sastra terbaik, bahkan juga sampai diterjemahkan ke bahasa asing”, tuturnya bangga.
Novel Perempuan yang Memetik Mawar terbit tahun lalu, dan kini telah dicetak untuk kedua kalinya. Selain membedah bukunya, Dahlia Rasyad juga mengadakan sesi penandatanganan dan berfoto bersama para pembaca bukunya.