Sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang memiliki sejarah pembangunan dan tata kota yang tidak singkat. Tak jarang pula, linimasa sejarah Kota Palembang turut melibatkan berbagai nama tokoh masyarakat yang pernah atau masih hidup di Palembang. Salah satu tokoh tersebut tak lain adalah Alm. H. Bayumi Wahab, salah seorang pengusaha terkaya di Palembang pada masa Orde Baru.
Warga Palembang yang bermukim di wilayah Sekip—atau setidaknya pernah melintas di Jalan Mayor Ruslan—pasti tak asing dengan sebuah rumah limas megah yang berdiri di seberang kompleks Yayasan Pendidikan IBA. Rumah megah tersebut memiliki halaman berumput yang luas, ‘diperelok dengan sebuah patung kuda putih besar di depan pintu masuknya. Sejak kecil saya hanya tahu bahwa rumah limas tersebut dinamai ‘Rumah Bayumi’ atau ‘Rumah Bari’, rumah milik orang kaya lama di Palembang yang bernama H. Bayumi Wahab. Adapun tentang nama Bayumi dan kisah rumah tersebut, saya tidak tahu pasti. Hal itu sedikit-banyak meninggalkan rasa penasaran di hati saya sejak saat itu hingga saya dewasa.
Tentang Bayumi Wahab
Bayumi Wahab lahir di Desa Tambang Rambang, Komering, pada 4 Januari 1924. Tumbuh dan besar dari keluarga saudagar membuatnya menjadi seorang pengusaha yang ulet dan memiliki banyak relasi.
Menurut catatan Mestika Zed dalam Kepialangan, Politik, dan Revolusi: Palembang, 1900-1950 (2003), Bayumi Wahab bahkan menjalin hubungan dengan Jepang pada masa akhir pendudukan Jepang. Dia membarter bahan-bahan makanan dengan barang-barang manufaktur buatan Jepang yang kemudian dijual lagi. Agaknya modal awal usahanya diperoleh dengan cara seperti itu. Dia termasuk dalam kelompok pedagang besar Palembang yang mempunyai koneksi dengan Singapura sejak 1946.
Tahun 1943, Bajumi Wahab menjalin kerjasama dengan rekannya, Abdul Wahab, dan mendirikan sebuah persekutuan bernama ‘Wahab Kongsi’ yang berkantor di Jakarta dan Bandung.
Setelah pulugan tahun berbisnis bersama, aset dan kekayaan Bajumi Wahab terus tumbuh dari waktu ke waktu. Bayumi Wahab dan ekspansi usahanya turut merambah berbagai ranah. Berawal dari perdagangan hasil bumi dan bahan-bahan mentah, melebar ke jasa pelayaran, percetakan dan reklame, pusat perbelanjaan, bioskop hingga ke jasa pendidikan. Kekayaan Bajumi Wahab pada masa itu sering disandingkan dengan kekayaan Hasjim Ning dan Agoes Moesin Dasaad, dan turut digolongkan sebagai pebisnis yang paling termasyhur dan berpengaruh sepanjang Orde Lama. Sebagian orang Palembang bahkan menyebut-nyebut bahwa kekayaan Bayumi Wahab tak akan habis hingga keturunannya yang ke-14.
Dalam sepak terjangnya, Bajumi Wahab tidak berjuang sendirian. Ia turut didampingi seorang istri setia yang bernama Hj. Sayyidah.
Aset Bayumi Wahab
Walau kekayaannya ditaksir tak akan habis hingga keturunan ke-14, ekspansi bisnis Bayumi Wahab nyatanya berhenti setelah 30 tahun usahanya berjalan. Pun demikian, hingga kini terdapat beberapa aset peninggalannya yang namanya tak lekang oleh sejarah dan masih bisa ditemui di Palembang. Aset-aset tersebut antara lain :
Rumah Bari
Bari dalam bahasa Palembang berarti kuno atau lama. Rumah Bari sendiri adalah rumah limas panjang tempat kediaman keluarga Bayumi Wahab di Palembang yang kini berlokasi di Jl. Mayor Ruslan, Sekip. Rumah Bari dulunya pernah digunakan untuk menampung prajurit kemerdekaan pada masa perang.
Ada kisah menarik di balik berdirinya rumah tersebut. Bayumi Wahab dikenal sebagai anak yang berbakti pada ibunya. Konon, Rumah Bari tersebut adalah rumah panggung orangtuanya di Desa Tanjung Sejaro, Ogan Komering Ilir (sekarang Ogan Ilir) yang dibongkar dan dipindahkan ke Palembang menggunakan armada kapal kepunyaan Bayumi Wahab. Rumah orangtuanya tersebut kemudian disusun kembali, lalu direnovasi menjadi lebih megah seperti yang sekarang ini bisa ditemui. Ibunya pun kemudian turut tinggal di rumah tersebut bersama dengan keluarga Bayumi Wahab. Bahkan setelah ibunya meninggal, jenazahnya pun turut dikebumikan di pekarangan belakang rumah tersebut.
Rumah Bari kini tidak lagi ditempati keturunan Bayumi Wahab, namun masih diurus dan dijaga keasliannya oleh petugas yang dipekerjakan disitu. Warga Palembang kini dapat turut menyambangi kediaman Bayumi Wahab dengan cukup membayar uang perawatan pada penjaganya.
Yayasan Pendidikan IBA
Tak jauh dari Rumah Bari, adalah peninggalan lain dari Bayumi Wahab yang tak lain tak bukan adalah Yayasan IBA, atau kini lebih sering disebut Universitas IBA.
Secara legal, Yayasan IBA disahkan pada tanggal 1 September 1959 dihadapan Notaris Tan Thong Kie. Bajumi Wahab sebagai donatur tunggal pada saat itu dibantu oleh rekan-rekannya, yaitu Dr. M. Isa, Nasaruddin Nuch dan Dentjik Wahab dalam mendirikan dan mengelola yayasan. Pada awalnya Yayasan IBA menyelenggarakan pendidikan TK, SD, SMP, SMA dan SMK, lalu mulai membuka universitas pada tahun 1986.
Nama IBA sendiri merupakan akronim dari nama Bajumi Wahab dan istri tercintanya, Hj. Sayyidah.
Percetakan Rambang
Percetakan Rambang didirikan sejak tahun 1953 oleh Bajumi Wahab. Melalui perkongsiannya dengan Abdul Wahab yang dulunya pernah berkarir di ranah pers, Bajumi Wahab mempelopori bisnis percetakan pertama di Palembang. Potensi tersebut mampu disambutnya, mengingat pada saat itu minat baca surat kabar masyarakat begitu masif, sementara belum ada percetakan yang mencetak langsung surat kabar di Palembang.
Hingga kini, percetakan yang juga beralamat di Jl. Mayor Ruslan tersebut masih aktif beroperasi. Rambang terus meningkatkan kapasitas bisnisnya khususnya untuk percetakan order komersil (promosi dan advertising).
Masjid H. Bajumi Wahab
Sebenarnya Masjid H. Bajumi Wahab lebih tepat disebut sebagai wakaf daripada aset. Menjelang wafat, Bajumi Wahab sempat berwasiat kepada anaknya, H. Rosihan Nuch Bajumi untuk membangun sebuah masjid di Desa Tanjung Sejaro, Indralaya, tempat kelahiran orang tua Bajumi Wahab. Bajumi berpesan demikian agar kelak masjid tersebut dapat memberi manfaat bagi penduduk Desa Tanjung Sejaro serta sekitarnya.
Masjid H. Bajumi Wahab dibangun di atas lahan seluas satu hektare dengan menelan biaya hampir mencapai 10 milyar rupiah. Masjid eksentrik tersebut dihiasi tegel keramik putih di segala penjurunya, menara setinggi 28 meter serta pohon-pohon kurma yang sengaja dipesan langsung dari luar Sumatera.
Selain aset-aset yang telah disebutkan di atas, Bajumi Wahab juga terhitung pernah menjalankan usaha ekspedisi dan pelayaran (Sriwijaya Lloyd), beberapa bioskop di Jakarta, serta pusat perbelanjaan Megahria di Palembang.
Ketika Aset Menjadi Warisan
Bisnis Bajumi Wahab dilanjutkan oleh anak-cucunya. Namun dalam prosesnya, tidak semua bisnisnya dapat bertahan dari gerusan waktu. Beberapa usahanya yang bertahan kini menjadi bagian ikonik tersendiri yang menghias beberapa sudut Kota Palembang. Sebut saja salah satunya, Rumah Bari.
Meski jasad Bajumi Wahab dan istrinya kini telah dikubur di pekarangan rumah Bari, peninggalan-peninggalannya dalam pembangunan Kota Palembang tak akan terlupakan.
Sumber: (iba.ac.id; news.palcomtech.com; rambangonline.com; tirto.id)