Kemajuan di bidang teknologi sedikit-banyak telah mempengaruhi budaya orang Indonesia dalam berbagai aspek. Contohnya adalah pemilihan jenis hiburan. Hiburan berbasis digital, terutama dalam wujud konten video, kian menjadi primadona. Jutaan video diakses dan ditonton semua orang di seluruh dunia setiap harinya lewat internet. Video-video tersebut, khususnya film, dapat hadir di layar gawai semua orang setelah melewati proses kreatif yang panjang, beranjak dari ide-ide brilian para produser dan penulis naskah di belakangnya.
Rabu (17/10) lalu, bahasan mengenai proses pembuatan film pendek dan esensi-esensi di dalamnya telah dikocek habis oleh Angga Sasongko, seorang sineas muda yang karirnya kini tengah melejit. Pemuda kelahiran Jakarta 33 tahun tersebut hadir memenuhi undangan SMKN 5 Palembang beserta 24 Film, komunitas pegiat film di Palembang, untuk membagi sedikit ilmunya dengan bibit-bibit sineas unggul Palembang.
“Apa hal yang paling harus dikuasai seseorang agar bisa menjadi story-teller?”, tanyanya retoris kepada para hadirin. Tak kurang dari selusin orang yang menjawab, dan kesemuanya tak ada yang berhasil memperoleh kaos Filosofi Kopi yang diiming-imingkan Angga bagi penjawab yang benar. “Hal yang terpenting dalam story-telling, pertama-tama adalah mendengarkan. Sedikit sekali orang zaman sekarang yang mau mendengarkan”, pungkasnya dramatis.
Tur 11 Kota di Indonesia
Kedatangan Angga dan timnya ke Palembang adalah start dari sebuah rangkaian safari bertajuk Edutour, sebuah program yang digagas untuk membuka pandangan pelajar-pelajar di nusantara tentang proses pembuatan film, dan potensi dunia perfilman Indonesia di masa mendatang. Palembang sendiri adalah kota pertama yang didatangi Angga cs, dan SMKN 5 Palembang terpilih menjadi tuan rumah setelah proses yang tidak mudah.
“Jadi awalnya kami dapat informasi kalau Mas Angga Dwimas Sasongko dan Visinema itu mau ngadain tur workshop tentang film. Tapi sebelumnya kami ditantang dulu untuk buat film pendek dengan tema “Everyone can Be a Storyteller”. Jadi kami buat filmnya dan submit ke web, lalu nggak lama kemudian dapet pengumuman kalau SMKN 5 terpilih jadi salah satu yang akan dikunjungi Mas Angga”, ujar Dinar Try Akbar, siswa SMKN 5 Jurusa Pertelevisian yang menjadi Ketua Pelaksana workshop yang bertajuk “Everyone Can Be a Storyteller” tersebut. Kepada tim srivijaya.id, Dinar mengaku bahwa SMKN 5 Palembang adalah satu-satunya sekolah di Palembang dan Sumsel yang disambangi Angga Sasongko dan tim Visinema.
Informasi tentang tur workshop tersebut sendiri diperoleh Dinar dari 24 Film, komunitas pegiat film yang ada di Palembang. Mengingat bahwa workshop tersebut khusus menarget pelajar SMA/SMK, maka informasi yang diperoleh 24 Film tersebut dioper ke SMKN 5. Mutiara Ramadhon, Ketua Umum 24 Film memilih SMKN 5 Palembang bukan tanpa alasan.
“Aku dapat infonya (workshop Edutour) karena pernah magang di Visinema. Kami (24 Film) kasih info itu ke SMKN 5 karena mereka punya jurusan pertelevisian, aktif ikut perlombaan dan pernah menang di beberapa festival. Semangat belajar mereka masih sangat tinggi”, tutur Mutiara Ramadhon. Untuk peserta workshop, Mutiara berharap agar ilmu yang disampaikan Angga Sasongko dapat bermanfaat bagi semua yang hadir. “Semoga dari apa yang disampein tadi bisa diserap ilmunya dan diterapkan, biar film-film di Palembang bisa berkembang”, timpalnya.
Indonesia dan Budaya Story-telling
Angga Sasongko berujar bahwa Indonesia memiliki budaya storytelling yang berurat-akar dalam sejarah. Beberapa wilayah di nusantara memiliki budaya storytelling-nya sendiri, yang terpatri dalam naskah-naskah sejarah yang berbeda di tiap wilayah. Dari fakta tersebut, Angga menarik sebuah kesimpulan untuk dipahami bersama-sama : jika kunci dari bercerita adalah mendengarkan, maka kunci dari menulis adalah membaca.
“Indonesia mungkin tergolong tidak beruntung karena dulunya dijajah oleh Belanda, bukan Inggris”, ujarnya. Sistem kolonialisasi Belanda yang membodohkan pribumi baru lenyap saat muncul generasi cendekiawan pribumi di masa awal abad ke-20. “Sejak orang Indonesia mulai melek huruf hingga Indonesia merdeka, jarak waktunya tidak sampai 40 tahun. Bayangkan, betapa banyaknya ketertinggalan yang harus kita kejar dengan minimnya minat membaca”, kisah Angga. “Sejak dijajah Belanda, Indonesia sudah tidak punya budaya literasi (membaca buku). Untuk itu, agar bisa menjadi story-teller yang baik, seseorang harus membiasakan diri membaca dan mendengar, juga harus punya motivasi sendiri yang kuat”, sambungnya.
Di akhir workshop, sutradara sekaligus produser film “Foto Kotak dan Jendela” tersebut menyampaikan harapannya yang besar kepada pelajar SMK, khususnya mereka yang bergelut di bidang pertelevisian dan broadcasting.
“Sumber workforce yang paling menjanjikan bagi Indonesia itu justru sebenarnya berasal dari sekolah vokasi (SMK). Semoga setelah mereka (siswa-siswi SMKN 5) keluar dari workshop ini, wawasan mereka tentang film bertambah. Dan semoga setelah mereka tamat dari SMK, mereka jadi lebih siap untuk bekerja di bidang mereka”, jelasnya. Angga sadar bahwa permasalahan sejati pelajar SMK adalah kesesuaian kompetensi yang mereka peroleh di sekolah dengan kebutuhan industri yang akan mereka masuki setelah tamat dari SMK. “Saya merasa bertanggung jawab dalam hal tersebut. Karena saya bukan pemimpin, hanya rakyat biasa, maka saya berusaha membagi yang saya tahu dan pengalaman yang saya punya kepada mereka”, tutup Angga.
Angga Dwimas Sasongko telah berhasil menyutradarai dan memproduseri berbagai film Indonesia, seperti : Hari untuk Amanda (2009); Cahaya dari Timur : Beta Maluku (2013); Filosofi Kopi (2015); Surat dari Praha (2016); dan Wiro Sableng (2018). Film Hari untuk Amanda yang ia sutradarai sekaligus produseri memenangkan delapan nominasi Piala Citra pada tahun 2010.