Gambut bukan hal baru bagi sebagian besar masyarakat Sumatera Selatan yang hidup di lahan basah, termasuk masyarakat yang selama ini hidup turun-temurun di lahan maupun di sekitar gambut. Kata gambut berasal dari bahasa Banjar, Kalimantan Selatan, yang diperkenalkan para peneliti lahan basah beberapa tahun lalu. Istilah Gambut mulai terkenal setelah pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG).
Sebagai hal baru yang sebenarnya lama, dibutuhkan sebuah sumber informasi atau pengetahuan mengenai gambut, khususnya di Sumatera Selatan. Dengan kata lain, pengetahuan yang dinamis atau terus mengalami verifikasi sejalan dengan hadirnya data terbaru yang dapat diakses siapa saja.
“Kami menggagas lahirnya Wiki Gambut Sumatera Selatan”, kata Dr. Edwin Martin, dari Balai Litbang LHK Palembang usai Workshop Pengembangan Sistem Manajemen Pengetahuan tentang Ekosistem Gambut di Sumatera Selatan yang diadakan Balai Litbang LHK Palembang dan ICRAF di Palembang pada Selasa (18/09) lalu.
Narasi kunci Wiki Gambut Sumsel nantinya akan dipublikasikan melalui Wikipedia. “Ibarat bibit, kegiatan ini baru menghasilkan daun kedua, setelah hadirnya daun kelima, maka Wiki Gambut Sumsel siap diluncurkan. Oktober ini tayang”, timpal Edwin.
Salah satu yang muncul dan menjadi diskusi dalam workshop tersebut adalah mengenai penyebutan “rawang” untuk lahan gambut bagi masyarakat Sumatera Selatan. “Rawang mendatangkan banyak informasi atau data, karena menjelaskan sebuah identitas bukan sebatas kondisi lahan”, ujar Edwin lagi.
Hal tersebut sejalan dengan dasar pembuatan Wiki Gambut Sumsel, yaitu untuk merangkum informasi tentang gambut di Sumsel yang terserak. Sebagian menjadi pengetahuan dalam tulisan, namun banyak pula yang masih berupa pengetahuan terpendam (tacit knowledge), yakni ada hanya berupa pengalaman, tradisi dan disampaikan secara lisan.
“Wiki Gambut Sumsel yang hadir nanti isinya mulai dari data teknis, sejarah lahan dan masyarakatnya, hingga kebijakan terkait gambut. Eksiklopedia kekinian ini diharapkan menjadi sumber rujukan dalam pembuatan keputusan aksi dan kebijakan restorasi gambut Sumatera Selatan”, ujarnya.
Gambut yang Kaya
Berdasarkan informasi kunci penyumbang data awal Wiki Gambut Sumsel, ternyata gambut tidak sebatas lahan. Di masyarakat tradisional, gambut memiliki fungsi yang signifikan dalam pembentukan sebuah kebudayaan masyarakat di lahan basah, baik yang hidup di gambut maupun yang tinggal di tepian sungai atau lahan mineral dekat gambut. Menariknya, informasi ini bergulir setelah kata rawang disajikan untuk menyamakan pengertian lahan gambut. Hampir semua bangunan, terutama rumah, berbentuk panggung atau bertiang. Tiang, dinding, lantai hingga atapnya menggunakan kayu, yang diambil dari hutan di lahan gambut. Begitu pun kayu untuk perahu dan kapal.
Namun, meskipun hutan di gambut dipenuhi pohon, tidak semudah itu warga membuat rumah panggung. Sebuah keluarga dapat keluar dari rumah orangtuanya jika memang memiliki banyak anak, sehingga membutuhkan sebuah rumah baru.
“Artinya pohon di hutan baru dapat diambil jika memang dibutuhkan. Jadi istilah bekayu atau bebalok yang artinya mengambil kayu di hutan gambut baru muncul setelah hadirnya aktivitas HPH sekitar tahun 1980-an, bukan kearifan masa lalu”, kata Iswadi, warga Desa Riding, Kabupaten OKI, yang hadir sebagai penyumbang informasi.
Sumber ekonomi dari lahan gambut juga banyak. Artinya, lahan tidak harus dikelola untuk mendapatkan pendapatan. Misalnya dari ikan. Ikan-ikan yang didapatkan dapat diolah menjadi sejumlah pangan lainnya, seperti ikan asap, ikan asin, pekasem atau dijadikan pempek setelah diolah dengan sagu yang juga tumbuh liar di gambut.
Sejumlah tanaman pun dapat diolah dengan cara dianyam untuk menghasilkan produk sehari-hari, baik buat kebutuhan rumah tangga atau berkebun dan mencari ikan. Warga juga dapat mencari getah-getahan di dalam hutan gambut seperti getah jelutung. Termasuk pula mencari madu.
“Jadi tidak benar jika gambut hanya dikaitkan dengan aktivitas sonor dan mencari kayu. Justru kehadiran perusahaan dan transmigran yang membuat kami paham jika rawang itu dapat dijadikan perkebunan dan pertanian. Dampaknya, hutan rusak sehingga kegiatan kami seperti di masa lalu tidak dapat lagi dilakukan”, kata Iswadi.
Keberadaan gambut juga memberi dampak pada masyarakat sungai. Risan atau arisan yang menjadi pembatas persawahan pasang surut masyarakat, pada saat kemarau menghasilkan banyak ikan sehingga melahirkan tradisi lelang lebak lebung. Termasuk pula melebung ikan atau mencari ikan di genangan air pesawahan atau anak sungai yang mengering. Ikan-ikan ini umumnya berasal dari hulunya risan yakni rawang atau lahan gambut. “Tradisi ini ditemui pada setiap masyarakat yang menetap di tepi sungai di Kabupaten OKI,” kata Eka Nurmayanti dari Dinas Perikanan Kabupaten OKI.
Tidak hanya kaya sumber daya alam, gambut di Sumsel ternyata memiliki kekayaan sejarah. Beragam situs permukiman atau kehidupan masyarakat di masa Kerajaan Sriwijaya juga banyak ditemukan di lahan gambut. “Berdasarkan penelitian kami, bukti-bukti banyak ditemukan di Lalan, Air Sugihan, Tulung Selapan dan Cengal”, kata Budi Wiyana, Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan.
“Semua informasi dari penyumbang ini setelah diolah akan kami masukan dalam Wiki Gambut Sumsel. Semoga data awal ini menghadirkan menarik informasi baru dari penyumbang lainnya. Tentunya, dalam proses tetap dilakukan verifikasi”, tandas Edwin.
*Artikel ini merupakan tulisan Taufik Wijaya yang telah dipublikasikan di situs mongabay.com dengan judul yang sama.
Untuk membaca artikel original, silakan klik disini.